Lotek Musik Fisipol
Saat sebuah stasiun televisi mengumumkan harga cabe melonjak, aku benar-benar marah.
Bagaimana tidak, aku adalah penggila sambal yang lebih memilih diet ketimbang makan hambar tanpa rasa pedas. Namun cerita ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan cabe jenis apapun.
Suntuk, menghabiskan hari dengan mengeluh tentang cabe dan hujan yang tak kunjung reda, Pangeran Kodok tetap mengajakku ke sebuah acara tahunan yang diselenggarakan adik-adik angkatannya di selasar kantin Fisipol UGM. Awalnya aku hanya berniat duduk sejenak melihat penampilan pertama si pacar memegang mikropon alih-alih stik drum. Berselang sepuluh menit, aku belum beranjak juga, ketika sebuah band beraliran Jazz dengan baik hati menampilkan lagu mereka yang bahkan belum diberi judul. Tiga puluh menit, aku merasa tidak sopan untuk naik ke Sekretariat ketika teman-teman jurusan berdatangan.
Tiga puluh menit kedua, aku semakin larut dalam hentakan-hentakan distorsi band metal 'gojek' asli Jogja (belakangan aku ketahui bernama Catch 33) dengan aksi panggung vokalisnya yang seolah-olah hidup tanpa beban: melompat-lompat liar, bergaya doyong semacam trans, berguling-guling di lantai dan dua menit sekali menaikkan retsleting yang turun. Skill menggaruk gitar yang dipertontonkan gitaris dan bassis-nya malah membuat aku ikut mengangguk-anggukkan kepala, sampai aku sadar sepenuhnya bahwa aku sudah berada di antara teman-teman yang sama-sama terngaga, berteriak dan bertepuk tangan dengan antusias.
Dan aku, yang belum pernah sekalipun menonton orkes melayu dan biduannya tampil live selain di acara kondangan malah 'nyaris' ikut bergoyang bersama pria-pria kurang hiburan yang sudah nyosor ke muka panggung terdepan yang bisa dicapai untuk ber-dangdut koplo. Tak peduli betapa garang dan sangarnya aliran musik mereka, toh semuanya fasih merapal Bojo Loro, Keong Racun dan Tali Kotang versi aduhai ala dua biduan-nya Om Satria.
Oh tidak, ini tidak aneh.
Hampir setahun dua kali bahkan bisa lebih dari itu, kampus Fisipol mengadakan pentas musik yang mempersatukan musisi lokal dari berbagai aliran. Ibarat lotek, berbagai jenis musik dari musisi yang segar macam sayuran, crispy kayak gorengan dan pedes menggelegar ala rawit ini bercampur dalam satu bungkus daun pisang dan kertas nasi dan sekarang sedang dinikmati bareng di tengah hujan. Di Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan, dikenal event tahunan Artspiration yang membuka lebar pintu masuk bagi musisi bergenre apa saja. Di tahun pertama, Artspiration berhasil menaikturunkan suasana dengan kehadiran Backfool yang ska banget, Armada Racun dengan aliran rock garis keras yang kritis, Saksi Bisu sebagai representasi band Punk kental hingga Serikat Pengamen Indonesia dan teater Gadjah Mada yang berhasil menghipnotis penonton yang tak banyak namun padat. Jurusannya Pangeran Kodok, Sosiologi, mulai tahun kemarin juga menyelenggarakan event tahunan yang menambah panjang daftar lotek-isasi seni di kampusnya anak-anak sosial ini. Dan senangnya, masing-masing tidak saling mengganggu, bahkan memberi dukungan dengan saling menghadiri dan joget bareng. Hal yang akan dirindukan besok lusa dan membuat kita ogah jauh-jauh dari kampus, apalagi dari Jogja.
Walaupun sambel kian langka, Lotek ini tetap pedas-pedas menggigit bikin nagih.
Bagaimana tidak, aku adalah penggila sambal yang lebih memilih diet ketimbang makan hambar tanpa rasa pedas. Namun cerita ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan cabe jenis apapun.
Suntuk, menghabiskan hari dengan mengeluh tentang cabe dan hujan yang tak kunjung reda, Pangeran Kodok tetap mengajakku ke sebuah acara tahunan yang diselenggarakan adik-adik angkatannya di selasar kantin Fisipol UGM. Awalnya aku hanya berniat duduk sejenak melihat penampilan pertama si pacar memegang mikropon alih-alih stik drum. Berselang sepuluh menit, aku belum beranjak juga, ketika sebuah band beraliran Jazz dengan baik hati menampilkan lagu mereka yang bahkan belum diberi judul. Tiga puluh menit, aku merasa tidak sopan untuk naik ke Sekretariat ketika teman-teman jurusan berdatangan.
Tiga puluh menit kedua, aku semakin larut dalam hentakan-hentakan distorsi band metal 'gojek' asli Jogja (belakangan aku ketahui bernama Catch 33) dengan aksi panggung vokalisnya yang seolah-olah hidup tanpa beban: melompat-lompat liar, bergaya doyong semacam trans, berguling-guling di lantai dan dua menit sekali menaikkan retsleting yang turun. Skill menggaruk gitar yang dipertontonkan gitaris dan bassis-nya malah membuat aku ikut mengangguk-anggukkan kepala, sampai aku sadar sepenuhnya bahwa aku sudah berada di antara teman-teman yang sama-sama terngaga, berteriak dan bertepuk tangan dengan antusias.
Dan aku, yang belum pernah sekalipun menonton orkes melayu dan biduannya tampil live selain di acara kondangan malah 'nyaris' ikut bergoyang bersama pria-pria kurang hiburan yang sudah nyosor ke muka panggung terdepan yang bisa dicapai untuk ber-dangdut koplo. Tak peduli betapa garang dan sangarnya aliran musik mereka, toh semuanya fasih merapal Bojo Loro, Keong Racun dan Tali Kotang versi aduhai ala dua biduan-nya Om Satria.
Oh tidak, ini tidak aneh.
Hampir setahun dua kali bahkan bisa lebih dari itu, kampus Fisipol mengadakan pentas musik yang mempersatukan musisi lokal dari berbagai aliran. Ibarat lotek, berbagai jenis musik dari musisi yang segar macam sayuran, crispy kayak gorengan dan pedes menggelegar ala rawit ini bercampur dalam satu bungkus daun pisang dan kertas nasi dan sekarang sedang dinikmati bareng di tengah hujan. Di Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan, dikenal event tahunan Artspiration yang membuka lebar pintu masuk bagi musisi bergenre apa saja. Di tahun pertama, Artspiration berhasil menaikturunkan suasana dengan kehadiran Backfool yang ska banget, Armada Racun dengan aliran rock garis keras yang kritis, Saksi Bisu sebagai representasi band Punk kental hingga Serikat Pengamen Indonesia dan teater Gadjah Mada yang berhasil menghipnotis penonton yang tak banyak namun padat. Jurusannya Pangeran Kodok, Sosiologi, mulai tahun kemarin juga menyelenggarakan event tahunan yang menambah panjang daftar lotek-isasi seni di kampusnya anak-anak sosial ini. Dan senangnya, masing-masing tidak saling mengganggu, bahkan memberi dukungan dengan saling menghadiri dan joget bareng. Hal yang akan dirindukan besok lusa dan membuat kita ogah jauh-jauh dari kampus, apalagi dari Jogja.
Walaupun sambel kian langka, Lotek ini tetap pedas-pedas menggigit bikin nagih.
Komentar