Arsip #1: Ketika Kampus Rakyat Bikin Melarat

Lembar demi lembar seribu rupiah akan berpindah dari dompet ayah atau ibu yang berniat menjemput anaknya dari kampus, atau dari saku para pedagang yang mencari nafkah di wilayah kampus ke tangan-tangan petugas parkir, atau dari rekan-rekan UNY dan UPN yang berkunjung, atau dari mahasiswa UGM sendiri yang tidak membawa Kartu Identitas Kendaraan. Kampus tak ubahnya tempat wisata dan kebun binatang.

Wacana parkir berbayar ini seolah-olah tak putus juga. Sejak Agustus 2009 digulirkan, kemudian berganti dengan sistem KIK di tahun 2010, kini bermutasi lagi menjadi mekanisme parkir entah-apa-maunya, yang akan diterapkan Januari 2011. Di tengah respon keras dalam hitungan tahun, celah yang dicari untuk menggolkan kebijakan ini semakin menjadi-jadi. Penguluran waktu pelaksanaan seperti berupaya membuat generasi bandel bin tukang protes habis masanya, lulus satu per satu dan generasi baru yang tidak mengerti asal muasalnya manut-manut saja membiarkan mekanisme parkir berbayar dianggap wajar dan tidak bermasalah.

Saya masih memiliki arsip tulisan yang diterbitkan secara massal di wilayah kampus Fisipol UGM ketika wacana parkir berbayar untuk pertama kali digulirkan. Agar kita ingat bagaimana keras penolakan pada saat itu, dan kita cegah pemutusan generasi 'bandel' yang berusaha dipotong perlahan-lahan ini.

Ketika Kampus Rakyat Bikin Melarat
Miranda Syevira
Sabtu, 29Agustus 2009 2:23am

Bayangkan panjangnya antrean kendaraan bermotor di jam-jam sibuk di sekitar gerbang masuk Universitas Gadjah Mada, mengacaukan arus kendaraan dari dan menuju Rumah Sakit Panti Rapih, Mirota Kampus serta daerah selatan Bunderan karena civitas akademika harus mendapatkan karcis parkir dan membayar terlebih dahulu sebelum memasuki wilayah sang Kampus Rakyat. Bayangkan jika seorang warga masyarakat butuh pertolongan medis segera di RSUD Sardjito dan harus melewati jalan memutar karena UGM telah menjadi daerah ‘terlarang’ untuk dilewati khalayak umum.

Ya, inilah beberapa hal yang dikhawatirkan akan terjadi jika titah dalam surat edaran nomor 5890/PII/Dir-PPA/2009 dilaksanakan. Sebagian besar dari kita mungkin sudah mendengar berita yang beredar baik dari Surat Kabar terkemuka maupun dari informasi di dunia maya, bahwa mulai pertengahan September 2009 yang akan datang, kendaraan bermotor yang akan memasuki Universitas Gadjah Mada akan terkena retribusi parkir dan akses keluar masuk kampus dibatasi hanya lewat satu pintu. Untuk saat ini uji coba kebijakan baru diterapkan pada kendaraan beroda empat, namun sudah ada rencana mengenai pemungutan biaya parkir bagi semua kendaraan bermotor (termasuk roda dua) di seluruh kampus UGM, baik timur maupun barat. Sayang, lagi-lagi kebijakan ini adalah keputusan satu pihak tanpa melibatkan semua elemen dan perwakilan dari civitas akademika. Mirisnya, pengelolaan parkir diserahkan pada pihak swasta.

Apa yang pertama kali terlintas di benak teman-teman sekalian?

Sebagian besar dari kita kaget, beberapa bingung, dan banyak di antara mahasiswa yang marah dan mengecam. Mahasiswa hingga dosen begitu reaktif. Beberapa mahasiswa mewacanakan dan mendiskusikan kebijakan ini dalam portal akademik UGM. Dalam situs jejaring sosial terutama Facebook, status dan komentar mengenai peraturan baru ini begitu mengemuka, berisi sikap, kecaman, makian bahkan beberapa membuat grup ataupun causes seperti Tolak Pemberlakuan Karcis Masuk Wilayah UGM, Say No to Bayar Parkir UGM! dan masih banyak lagi. Tentu saja sebagaimana dua sisi mata uang, tak dapat dielakkan ada pula sejumlah mahasiswa yang tenang-tenang saja hingga apatis.

Kebijakan ini merupakan hal yang bersentuhan langsung dengan mahasiswa. Dengan istilah ekstrim, tengah dilakukan pemelaratan terhadap mahasiswa UGM secara perlahan-lahan. Mari sedikit berhitung. Jika setiap hari Ucok harus memasuki wilayah kampus UGM untuk kuliah dan beraktivitas di kampus sebanyak 2 kali dan dalam satu bulan Ucok harus ke kampus minimal 20 kali, maka Ucok harus mengeluarkan uang sebanyak 1.000 x 20 = 20.000 per bulan, atau 20.000 x 12 = 240.000 per tahun. Yang harus dicatat adalah tidak semua mahasiswa UGM berasal dari keluarga berada sehingga uang senilai di atas bisa merupakan jumlah yang cukup besar. Lalu, mari melihat lebih jauh. Dari sekitar 57.310 mahasiswa UGM , apabila terdapat setidaknya separuh atau 30.000 mahasiswa UGM yang menggunakan kendaraan bermotor ke kampus, maka pemasukan retribusi parkir (tidak termasuk mobil) selama setahun paling sedikit adalah 240.000 x 30.000 = 7.200.000.000. 7,2 Miliar!

Kini timbul sebuah tanda tanya besar: Kemana larinya uang sejumlah itu? Kemana pula larinya berjuta-juta—bahkan ratusan juta—uang yang disetorkan mahasiswa tiap semesternya? Ini sangat menggelitik nefron-nefron di otak saya. Dan yang lebih menggelitik lagi, bahwa rektorat telah memiliki 4 kandidat pengelola parkir yang kesemuanya adalah swasta. Ini berarti dalam waktu dekat kita akan menyaksikan satu lagi swastanisasi aset universitas di depan mata.

Adalah sebuah ketidakwajaran dan ketidaksinambungan bila tujuan penertiban dan pengkondisian wilayah kampus dilakukan dengan cara menutup akses bagi masyarakat dan memungut biaya parkir, apalagi oleh pihak swasta. Universitas tidak dapat dipisahkan dari masyarakat luas. Penutupan akses hanya akan menambah kesan eksklusif UGM di mata masyarakat, padahal Universitas adalah lembaga yang harus mengabdikan diri untuk masyarakat luas. Kalaupun memang harus memberlakukan sistem satu pintu, bukankah akan lebih arif jika civitas akademika UGM tinggal menunjukkan identitas seperti KTM tanpa perlu membebani secara ekonomi? Kalaupun memang harus dilakukan penertiban, bukankah lebih baik memberdayakan SKKK atau dikelola secara non-profit oriented oleh pihak Universitas daripada menyerahkan nasib pada pihak swasta?

Identitas kampus kerakyatan yang sesungguhnya makin dipertanyakan. UGM sebagai lembaga pendidikan tinggi berstatus negeri dengan semua fasilitasnya seharusnya merupakan public goods yang bebas diakses semua rakyat UGM (baca: mahasiswa). Nyatanya, terjadi irisan tegas kala komersialisasi mentransformasikan peran ini menjadi private goods; milik pihak swasta baik pengelola parkir, pihak manajerial hotel University Club ataupun pengelola aset lainnya. Padahal, karakter universitas dan pihak swasta sangat jauh berseberangan. Logikanya, universitas adalah aktor yang bertanggung jawab terhadap edukasi dan pengembangan sumber daya manusia, sedangkan swasta adalah aktor yang hanya memiliki satu orientasi: profit dari sumber daya ekonomi sebesar-besarnya. Maka jika keduanya berjabat tangan dalam pengelolaan sarana dan prasarana kampus, yang akan menjadi objek penderita adalah mahasiswa sendiri. Atau kita bisa mengatakan bahwa UGM adalah public goods yang bersifat private? Wah, ini menjadi sebuah mutasi baru.

Memang, pengesahan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) untuk beberapa kampus negeri termasuk UGM berdampak secara langsung terhadap berbagai aspek, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya ekonomi sebesar-besarnya. Kebijakan baru mengenai pengelolaan parkir ini bukanlah satu-satunya imbas dari pengesahan UU BHP. Beberapa waktu yang lalu Asrama mahasiswa Dharma Putra mengalami kenaikan harga sewa secara drastis: hingga mencapai 400%. Bahkan pada bagian utara asrama yang dijadikan residence ini, harga sewa melonjak menjadi 1,5 juta per bulan. Saat ini, oleh karena tuntutan dari Aliansi Mahasiswa Peduli UGM, keputusan tersebut ditangguhkan. Kemudian beberapa bulan yang lalu, Hotel mewah University Club (UC) yang terbuka untuk umum tiba-tiba berdiri di dalam wilayah kampus. Masih banyak kasus dan kekhawatiran lain terkait kapitalisasi semacam ini. Dampak besar yang paling terasa bagi semua mahasiswa adalah semakin tingginya biaya kuliah, sehingga generasi muda berstrata ekonomi rendah bahkan takut untuk bermimpi mengenyam studi di UGM. Klasik memang, namun ini sama saja dengan mengatakan: orang miskin dilarang kuliah!

Jika kepedulian mahasiswa di kampus ini sendiri tidak beranjak dari sebatas gerutuan atau malah ketidaktahuan dan apatisme, habislah satu persatu berbagai aset dan fasilitas kampus, digerogoti dengan mulusnya oleh mahluk bernama Komersialisasi. Dan sebutan ‘Kampus Kerakyatan’ yang masih berani dipakai hanya akan menjadi nomenklatur yang mati membusuk!

Komentar

Jantan Putra Bangsa mengatakan…
haha.. benar sekali. lama2 masuk kampus UGM kayak masuk jala tol. harus bayar...

Postingan populer dari blog ini

Devil Spends Korean Won!

My Rareness Has A Name: Kosmemophobia!

"Perkenalkan, Saya Tante Fatimah."

Arsip #3 - Bicara Musik Indie: Tentang Counter-Culture Kapitalisasi Seni

Ibuku?