Ibuku?

Beliau adalah wanita yang aku panggil mama. Namanya cantik, Fatia Fahmida. Sejak menyadari mama punya nama yang cantik, aku jadi suka nama yang mengandung unsur vokal a-i-a, suatu saat anakku juga akan kunamai dengan unsur vokal yang sama. Kata almarhumah nenek, Fatia diambil dari Al-Fatihah, Ummul Qur'an. Jantungnya Al-Qur'an. Suaranya cantik, beliau suka bersenandung ketika mencuci, memasak, menjemur, dan menimang anak-anaknya. Wajahnya cantik, bagiku beliau Ibu yang paling cantik. Kulitnya putih bersih, matanya jernih, rambutnya lurus hitam dan tebal. Usia membuat beberapa noda hitam muncul di wajahnya, dan pekerjaan rumah tangga membuatnya tak pernah memanjangkan rambut cantiknya. Sering kami, putrinya, memaksa beliau memanjangkan rambut. Jawabannya sederhana: "Ribet, kalau masak, nyuci, gendong adek, nanti rambutnya kemana-mana."

Mamaku adalah wanita yang tidak pernah sekalipun datang ke salon kecantikan kecuali untuk potong rambut. Tetapi untuk aku dan adik perempuanku, beliau mengalokasikan dana krimbat dan massage jika kita mau. Wajah mama tidak pernah disentuh facial dan kosmetik kecantikan. Tetapi untuk aku dan adik perempuanku, jerawat sedikit saja membuat beliau berkata, "Cari klinik kulit dan wajah, nanti mama kirim uangnya." Meski akhirnya kita tak pernah mau.

Mamaku adalah wanita yang sekalipun dalam hidupnya sebagai Ibu, tidak pernah membeli baju baru, sepatu baru, jam tangan baru, kecuali di pedagang kaki lima, dua tahun sekali bahkan bisa lebih lama. Tidak pernah kulitnya yang cantik tersentuh barang yang bermerk dari mall atau toko mahal, apalagi perhiasan mewah. Beliau memang tak mau. Tetapi untuk aku dan adik-adikku, beliau selalu berkata, "Sudah tau mau beli baju di mana? Beli yang bagus aja sekalian ya, mau di mall mana?"

Mamaku adalah wanita yang sangat pandai memasak. Setiap hari, rumah adalah restoran yang hangat. Sampai-sampai suatu ketika adik laki-lakiku berkata ,"Abang nggak mau kawin kalau calon istri Abang nggak bisa masak kayak mama."

Mamaku adalah wanita yang selalu terbangun tiap malam untuk mengecek apakah ada nyamuk yang menghinggapi anak-anaknya. Setelah semua orang terlelap, mama masuk ke kamar dan mengoleskan minyak kayu putih di kaki dan tangan kami, lalu membenahi selimut sebelum kembali tidur. Adalah wanita yang sebelum makanpun akan menimbang terlebih dahulu, apakah anak-anaknya sudah makan atau belum, atau apakah anak-anaknya suka pada apa yang akan beliau makan, dan jika itu terjadi, beliau lebih memilih tak jadi makan dan membawa pulang empat porsi.

Mamaku adalah wanita yang selalu bersemangat ketika anak-anaknya mengikuti lomba-lomba. Beliau selalu ingin menonton kami di atas panggung ketika berdebat, berpidato, menyanyi, berdeklamasi, bermain teater dan memegang raket atau pion catur, meski kami tak pernah mau ditonton. Mama adalah wanita yang tidak pernah mau anaknya lapar sedikit saja. Beliau adalah orang yang mengepak setengah dus mi instan, susu jahe instan dan sambal ke dalam koperku yang sudah overload, ketika aku harus berangkat ke negeri orang untuk waktu yang lama. Katanya, "Kalau di dekat-dekat mama, nggak bakal kelaparan, tapi kalau jauh, pas nggak ada uang, gimana coba?"

Mamaku adalah istri setia, yang merawat papa ketika tidak bisa apa-apa, ketika papa hanya terbaring seperti mayat tetapi hidup. Ketika beliau berada di titik nadir yang bisa membuat wanita yang mengaku setia sekalipun meninggalkan suaminya. Tapi mama lebih dari setia.

Mamaku adalah pekerja keras, yang tidak pernah seharipun beristirahat untuk bekerja. Lebih dari sepuluh tahun pertama berumah tangga, beliau menopang ekonomi keluarga dengan berjualan kue dan makanan kecil, dan tidak berhenti ketika sakit atau hamil besar. Adik perempuanku bahkan nyaris dilahirkan di depan tungku batu tempat menggoreng risoles. Tahun berikutnya, mama harus menjadi kepala ekonomi keluarga karena papa sakit. Aku masih ingat menjual telur bebek ke warung-warung dan mama--dengan celemek putihnya--berjualan pecel dan gado-gado, di titik terendah dalam hidup keluarga kami. Hingga kini papa sudah sehat dan aku sudah bekerja, mama tetap tak bisa diam. Aku tidak habis pikir, dengan begitu banyaknya rutinitas rumah tangga, ditambah pekerjaan lain yang begitu melelahkan dan membosankan, tidak pernah sekalipun aku mendengar beliau mengeluh atau sekedar berkata "Mama capek." Belum pernah. Sekalipun.

Mamaku adalah wanita yang tidak pernah berkata, "Aku maunya begini," "Aku sih sukanya ini" Aku bahkan tidak tahu apa warna kesukaan mama, siapa saja geng mama ketika sekolah, siapa pacar pertama mama, karena beliau tidak pernah menceritakan dirinya sendiri. Beliau selalu menceritakan kami: prestasi kami, kemajuan kami, studi kami, bahwa kami anak-anak yang baik dan selalu membuatnya bangga. Meski kami belum merasa demikian.

Mamaku adalah wanita yang berkata bahwa kami berempat, anak-anaknya, adalah nyawanya. Suatu hari ketika penyakit mamaku menjadi begitu parah, hingga beliau harus menggunakan kursi roda untuk pulang ke rumah, beliau bercerita tentang mimpinya. Seorang pria yang tampan, bersih dan bercahaya mengantarkan mama masuk ke sebuah istana yang sangat besar dan mewah, dengan tangga melingkar berlapis emas dan lantai yang bekilauan, semua yang mama minta ada di sana. Mama yang tidak bisa berjalan, dalam mimpi itu menjadi sehat. Lalu pria itu berkata,

"Masuklah, Bu, ini rumah Ibu yang sebenarnya."

Mama menjawab, "Tapi aku punya empat anak, boleh ku ajak?"

"Tidak boleh, ini hanya rumah Ibu, mereka belum boleh ikut.." ujar si pria bercahaya.

"Kalau begitu aku tidak mau masuk."

Dalam mimpi itu, mama meninggalkan istananya di belakangnya dan kembali pada kami. Entah apa artinya, Allah-lah pemilik segala ilmu.

Mamaku adalah wanita paling luar biasa yang sanggup menghadapi keadaan tersulit. Sakit, tersakiti dan disakiti. Keadaan di mana jika aku yang ada di sana, aku akan sangat emosional dan marah, dan memaki, mengutuk, atau mungkin meludahi.

Tapi aku bukan mama.

Mamaku adalah wanita yang tidak pernah terisak dan lebih sering menyimpan rasa sakit. Jika sakitnya tak tertahan, beliau hanya akan membiarkan satu dua bulir air mata menetes begitu saja, tanpa isakan, dan suaranya tak pernah bergetar. Tidak ada yang lebih kusyukuri selain dilahirkan dari rahim mama. Aku tak tahu Tuhan membuatnya dari apa. Tak mungkin hanya dari tanah dan segumpal darah. Karena Tuhan membuatnya menjadi begitu lembut sekaligus kuat. Kekuatan yang tak pernah ku bayangkan bisa aku miliki, meski aku mengaku wanita kuat. Ternyata aku bukan wanita kuat.

Lihat, kan. Sekarang saja aku sudah berair mata. Aku tidak akan pernah mampu menjadi seperti mama.

Seorang laki-laki pernah berkata padaku, karakter seorang anak perempuan ditentukan oleh didikan ibunya. Kehalusan dan kekuatan hati seorang anak tergantung pada cinta ibunya. Dan, semua tahu, pintu surga seorang anak, laki-laki atau perempuan, ada pada ibunya. Jika kamu masih punya Mama, Ibu, Bunda, Emak, bersyukurlah, cintailah. Dan kamu akan paham untuk apa aku menulis.

Sudah satu bulan berlalu, tapi, selamat ulang tahun, Ma..

Peluk cium untuk mama,

Miranda Syevira
Vionna Riandita
Muhammad Shacrul Fahrezi
Muhammad Giffari Dinejad


Komentar

egy mengatakan…
keren.....

Postingan populer dari blog ini

Devil Spends Korean Won!

My Rareness Has A Name: Kosmemophobia!

"Perkenalkan, Saya Tante Fatimah."

Arsip #3 - Bicara Musik Indie: Tentang Counter-Culture Kapitalisasi Seni