Arsip #3 - Bicara Musik Indie: Tentang Counter-Culture Kapitalisasi Seni

Yang satu ini tadinya bagian dari makalah mata kuliah Urban Politics alias Politik Perkotaan, yang entah diterima atau tidak oleh dosen pengampu gara-gara si makalah masuk lewat kolong pintu ruang jurusan. (Mudah-mudahan mbak Dosen nggak baca :D) Gara-gara kepincut hadiah dari sebuah kompetisi menulis, sebut saja Jakarta Beat Net Writing Competition, makalah ini pun disulap jadi jauh lebih pendek dan berkurang drastis unsur ke-Politik Perkotaan-nya. Tetap saja nggak menang. Lha iya, apa hubungannya Politik Perkotaan dengan musik Indie? Ada. Dan Menarik. Sayang sekali file makalah aslinya sudah menghilang entah ke mana. Artikel gagal juara bacotan penulis sekelas penikmat musik nan awam ini adalah salah satu yang (nyaris) terserak dan berhasil ditemukan kembali. :)

                                                        BICARA MUSIK INDIE:
                             TENTANG COUNTER-CULTURE KAPITALISASI SENI

“Parkirnya sepuluh ribu. ASU!”
Distorsi menghantam telinga dan teriakan-teriakan total vokalis band metal ‘gojek’ Catch 33, Metallic Ass dan sederet band independen lainnya benar-benar membuat saya jejingkrakan. Saya bukanlah pecinta musik-musik beraliran keras, tapi kali ini saya sangat dibuai oleh aksi panggung dan kekuatan lirik yang ‘tidak biasa’. Asu (dalam bahasa Jawa berarti, maaf, Anjing) misalnya, adalah salah satu lagu ‘berisi’, yang menggambarkan kritik keras terhadap fenomena parkir berbayar yang kini kian menjadi-jadi di Yogyakarta, tidak hanya di tiap sudut tempat umum tetapi juga di kampus tertua di negeri ini.
Momen jingkrak-jingkrak ini tidak terjadi di panggung mewah ataupun konser besar-besaran. Hanya bertempat di sebuah kantin kampus dengan panggung dari meja makan yang disusun dan diikat tali plastik, dengan lantai berbercak-bercak lumpur hujan, dengan penonton yang separoh duduk-separoh berdiri di hall kecil kotor sisa aktifitas mengudap para mahasiswa. Kampus biru yang di siang hari dijejali lalu lalang sivitas akademika dengan sepatu dan baju berkerah, di malam hari menjelma bingar dalam balutan nada-nada catchy mulai dari yang sendu-sayup hingga yang keras memecah hujan.
Keramaian ditutup justru bukan oleh segerombolan musisi paling ‘sangar’ yang pernah ada, namun oleh dua biduanita sebuah orkes melayu langganan sunatan dengan alunan dangdut yang begitu asing di dunia kampus. Siapa sangka musisi-musisi dari beragam aliran ini kemudian melebur dalam goyangan khas dangdut koplo bahkan fasih ikut bernyanyi dalam lantunan Cinta Satu Malam, Harjosari, Bojo Loro hingga versi dangdut C.I.N.T.A yang mendapat predikat alay bin Melayu Total. Semua hapal dan lancar bersenandung. Langka ya? Namun pemandangan ini bisa ditemukan lebih dari dua kali dalam setahun di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Di daerah super istimewa ini tidak ada satu jenis musikpun yang tak diterima. Semua memiliki pendengar setia masing-masing. Namun hal yang saya kagumi adalah bagaimana masing-masing orang yang mencintai genre musik berbeda tidak saling nggerecoki (mengganggu). Kota ini nyaman bukan hanya untuk pelajar, namun juga untuk seniman-seniman semua golongan. Semua loh. Tanpa terkecuali.
Namun mungkin belum banyak yang membahas bahwa sesungguhnya fenomena tumbuh dan menjamurnya kalangan Indie di Indonesia dapat dibaca dalam kacamata Politik Perkotaan atau Urban Politics, sebuah studi yang sering diarti-sempitkan sebagai bahasan yang melulu tentang migrasi penduduk dan tumplek blek-nya masalah birokrasi dan pemerintahan di wilayah perkotaan. Salah kaprah. Politik perkotaan sesungguhnya mengkaji semua fenomena di wilayah perkotaan selama terkait aspek multikultural dan komunitarian. Fenomena sedemikian yang hanya terjadi di kota akan dibahas, dan dianalisis dalam sudut pandang ilmu politik.
Salah kaprah kedua, politik bukan hanya ilmu tentang negara, negarawan dan birokrasinya, melainkan ilmu yang kini memasuki era baru dimana kajian dan sudut pandang tidak lagi dibatasi pada pola hubungan eksekutif, legislatif, yudikatif atau dalam paradigma negara saja. Lebih dari itu, politik adalah sebuah ranah yang melibatkan unsur kuasa-dikuasai, keterlibatan semua aktor termasuk negara, aktor intermediari: media, partai politik dan pemilu, serta masyarakat: studi komunitas dan identitasnya. Menarik bahwa pada akhirnya musik—bahkan yang konten dan alirannya tidak berhubungan dengan politik praksis sama sekali—adalah salah satu kajian yang diusut mati-matian oleh ilmuwan politik masa kini.
Kita tilik dari Yogyakarta.
Istimewanya Kota Seribu Musisi
Sebelum berada di Yogyakarta, cakrawala saya dalam dunia musik sangat terbatas. Musisi bagi saya adalah mereka yang terekspos secara baik di media, memiliki album yang beredar di toko-toko musik dan seringkali mengadakan konser dan mengisi acara-acara besar. Musik bagi saya adalah lagu-lagu yang dikenal akrab di telinga masyarakat luas dan sangat sering diperdengarkan. Saya sebagai konsumen awam sama sekali tidak mengetahui bahwa ragam musik Indonesia sesungguhnya jauh lebih kaya daripada apa yang saya nikmati di media selama 17 tahun hidup di kota kecil di Pulau Sumatera. Seperti gunung es, puncak yang terlihat dan dikonsumsi mata hanyalah sebagian kecil sedangkan gunung es yang sesungguhnya berada di bawah permukaan air dan tidak terlihat. Saya merasa seperti sedikit dikelabui saat mengetahui betapa luasnya aliran musik dan lirik di Indonesia yang sama sekali berbeda dengan apa yang kita sebut sebagai musik mainstream dengan tema dan corak musik homogen. Dasar gunung es inilah yang disebut Indie. Dan Fenomena Indie, mau tidak mau harus diakui, hanya dapat tumbuh dan terfasilitasi di wilayah kota-kota besar saja.
Saat ini di Indonesia, tercatat kurang lebih 20.000 band Indie tanah air telah muncul,  dan kota yang menyokong jumlah band terbesar di Indonesia adalah Yogyakarta, mengalahkan Bandung dan Jakarta. [1] Belum ada data yang konkret mengenai berapa biji pastinya jumlah band Indie di Yogyakarta. Namun sebagai gambaran, sebelum gempa Jogja dan sebelum adanya LA Light Indie-fest pada tahun 2006, terdapat lebih dari 1000 band Indie di Kota Yogyakarta. [2] Ini merupakan fenomena yang tidak terjadi di semua kota. Terlebih di kota-kota kecil seperti, sebut saja, Prabumulih daerah saya.
Musik Indie di Mata Urban Politics
Indie (dalam musik) merupakan istilah yang dipergunakan untuk menyebut komunitas independen yang melakukan aktivitas kreatifnya secara bebas dan mandiri. Musik Indie, oleh karena itu, dapat diartikan sebagai kultur musik yang bebas-mandiri, termasuk tidak memiliki ikatan dengan perusahaan rekaman besar (major label) dan tidak harus mengikuti permintaan pasar. Atau meminjam istilah Wikipedia, subkultur musik yang berdiri sendiri tanpa adanya campur tangan produser besar, meskipun saya lebih suka menggunakan istilah counter-culture daripada sub-kultur.
Berdasarkan hasil ngobrol-ngobrol dengan musisi-musisi Indie Jogja, ada dua cara melihat musik Indie. Pertama, Indie merupakan status musisi atau artis self-released dan mandiri yang tidak terikat dengan mayor label. Kedua, Indie adalah kultur kebebasan mutlak dalam bermusik sehingga musikalitasnya tidak harus mengikuti arus yang sedang gandrung melainkan lebih kepada sebuah karakter khas.[3] Pengertian ini menyatakan Indie sebagai komunitas yang memegang Roots-Character-Attitude (RCA), yang merupakan bentuk resistensi terhadap jalur mainstream. [4] Dalam konteks ini, saya menggunakan pengertian kedua.
Dengan demikian sebuah band yang melakukan rilis album dan distribusi secara mandiri tanpa campur tangan mayor label, namun aliran musiknya sangat mengikuti arus pasar, maka band ini tidak dapat disebut sebagai Indie. sebaliknya musisi yang memegang RCA namun berada dalam mayor label tetap disebut sebagai Indie karena karakter RCA tidak mengizinkan mayor label mengintervensi musikalitasnya.[5] Hal ini sangat jarang ditemui di Indonesia. Karena tidak jarang, musisi Indie yang ditawari kesempatan bergabung dalam label mayor bersedia mengikuti ketentuan perusahaan dan mengadaptasi diri sesuai permintaan label rekaman tersebut.
Oleh sebab itu, Indie dalam pengertian kedua adalah musik yang resisten dan idealis, sama seperti bentuk resistensi komunitas Punk. Resistensi muncul bukan karena jalur mainstream itu salah dan mutlak harus ditentang, namun lebih didorong karena adanya penolakan terhadap kendali dan tekanan dari perusahaan rekaman besar yang mendesain musisi menjadi mainstream untuk membuat produk musik sebuah band atau artis laku di pasaran, dan dampaknya, membatasi kreativitas bermusik yang seharusnya tak terbatas.
Musisi Indie bisa melakukan eksperimen musik apa saja dalam waktu yang tidak terbatas dan tidak harus mengikuti karakter apa yang sedang berkembang dalam periode waktu tertentu. Misalnya pada tahun 1980-an, saat genre musik yang berkembang adalah Electric-Disco dan sejenisnya, tiba-tiba muncul grup musik The Smith yang mengusung aliran Rock-Resitance yang sama sekali jauh dari selera pasar saat itu. Atau misalnya contoh saat ini, Efek Rumah Kaca yang mengusung tema kritik sosial, kritik media dan lingkungan di tengah arus musik yang menonjolkan tema percintaan. Atau Melancholic Bitch, yang mengemas tema percintaan—yang (biasanya) mendayu-dayu dibumbui rindu dan cemburu—dalam sisi ‘suram’, membalut isi berupa kritik terhadap fenomena masyarakat pinggiran dan ketimpangan sosial. Dan, omong-omong, dua band Indie besar di atas asalnya dari kota besar (sekali) loh. Jakarta dan Jogja.
Lalu mengapa sulit—bahkan nyaris mustahil—menemukan musisi Indie di kota saya misalnya, kota kecil di pelosok Sumatera? Secara kasat mata saja, ada banyak hal yang menyebabkan kota-kota besar, khususnya Yogyakarta, menjadi sarang yang ideal bagi tumbuh kembang komunitas musik Indie, jauh lebih pesat dibandingkan di kota-kota lainnya. Pertama, aksesibilitas masyarakat di kota besar terhadap beragam referensi bermusik lebih tinggi. Sokongan media, terutama radio, terus menerus menjadi alat apresiasi musik yang sangat efektif, terlebih karena pendengar radio berasal dari berbagai kalangan, dari pemilik radio baterai hingga radio streaming via Ipad. Kedua, mobilitas Penduduk yang tinggi: musik mereka yang tadinya hanya terdengar di teras rumah bisa menyebarluas ke mana saja. Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang tergolong baik, keempat Intensitas kehidupan sosial budaya yang kuat yang meningkatkan toleransi seni dan kebudayaan,[6] kelima cara pandang masyarakat yang lebih terbuka lebar serta heterogenitas tinggi dapat mempertahankan regenerasi musisi Indie untuk terus berkarya dengan infiltrasi positif dan wawasan bermusik yang luas. Ketika tiba waktunya berbagai jenis aliran berada di titik temu, toleransi bermusik terus terasah dan lama kelamaan saling menerima. Contohnya ya, Catch-33 dan Orkes Melayu tadi.
Masih panjang pembahasan ilmiah Urban Politics mengenai hal ini, yang notabene sudah saya serahkan dua tahun yang lalu sebagai makalah Politik Perkotaan. Tapi, potong saja lah, serius sekali. Toh saya bukan mahasiswa lagi :D
Meramal Masa Depan Musik dan Musisi Indie
Musik Indie sebenarnya bukanlah fenomena baru dalam dunia seni. Namun eksistensinya baru terasa di Indonesia pada dekade 1990an dan berkembang sangat pesat pasca sebuah kompetisi band Indie yang dikenal dengan nama LA Light Indie-fest, pada tahun 2006.[7] Bagi para musisi Indie Yogyakarta, karya-karya mereka adalah sebuah ekspresi kebebasan bermusik yang tidak dapat ditemukan jika bergabung dalam label rekaman besar yang memiliki kekuatan modal yang besar pula.[8] Musisi-musisi indie yang tergabung secara epistemik menjadi sebuah komunitas berusaha membawa musik mereka masing-masing ke permukaan. Kesulitan terbesar dikarenakan label mayor dengan modal yang besar mampu melakukan promosi dan distribusi besar-besaran yang mendominasi pasar dan menanamkan selera mainstream pada masyarakat. Lalu bagaimana nasib musisi Indie?
 Berbagai upaya dilakukan oleh komunitas Indie dalam mendorong musik mereka termasuk dengan mengikuti kompetisi LA Light Indie-fest. Namun sayangnya ini pada dasarnya sama seperti ‘mayorisasi’ musik Indie, karena beberapa band Indie harus mengikuti permintaan penyelenggara baik untuk karakter maupun untuk membuat versi bahasa Inggris dan Indonesia dari lagu yang mereka ciptakan.[9] Selain itu, mengutip pernyataan Fast Forwards Records dalam artikel sebuah majalah nasional:
 Sebenernya sih, yang kami cari adalah band yang sesuai dengan karakter label kami. Band indie pop yang punya style dan karakter. Serunya dari seribu sekian demo, sudah banyak yang kami pikir sesuai dengan yang kami cari," [10] (penebalan huruf dari saya)
Band Indie pop yang sesuai dengan karakter yang kami cari? Jadi, di mana lagi letak Indie-nya? Kecerdikan macam ini yang membuat segelintir musisi Indie lama kelamaan mulai nurut dengan permintaan label rekaman melalui berbagai kompetisi yang juga ditunggangi pemilik modal besar. Berangkat dari keluhan-keluhan beberapa musisi Indie di Yogyakarta, kemurnian dan ke-Indie-an sudah makin tergerus. Beberapa telah menjelma sebagai bunglon yang rajin bermimikri menggunakan nama Indie.
            Jadi? Mainstream juga, dong! Yah, mudah-mudahan saja kebebasan berselera kita tak semakin kesusahan menemukan soulmate-nya. (Miranda)


[1] Data dari Budi Karya Sumadi, Pengamat Seni dan Budaya, dalam artikel Pasar Seni: Indie Butuh Apresiasi Dan Support , Jumat, 30 Oktober 2009.
[2] Diungkapkan Pengamat Musik Bens Leo dalam http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=VFVcAVUGWgQF
[3] Berdasarkan wawancara dengan Indra Agung Hanifah, musisi Indie Yogyakarta, Sabtu, 28 November 2009

[4] Dari tulisan Wena, Scenester Indie dan produser acara TV Lokal Bali, Jangan Pernah Menjadi Indie yang Bodoh, 15 Mei 2008, diunduh dari http://www.musikator.com/jangan-pernah-menjadi-indie-yang-bodoh/.
[5] Berdasarkan hasil wawancara dengan Fajar Martha dari Kongsi Jahat Syndicate, Rabu, 2 Desember 2009
[6] Hardjana, Suka, Musik: Antara Kritik dan Apresiasi, 2004, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman 344.
[7] Ibid.
[8] Wawancara dengan Amnesiac Syndrome, 24 November 2009.
[9] Op.cit.

[10] Pernyataan label rekaman LA Light Indiefest dalam http://www.lalightsindiefest.com/music.php?newsID=108

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Devil Spends Korean Won!

My Rareness Has A Name: Kosmemophobia!

"Perkenalkan, Saya Tante Fatimah."

Ibuku?