Arsip #2 - Mendidik dengan Hati (Dipublikasikan oleh Majalah Guruku)
Tulisan ini pernah dipublikasikan di Media Komunitas "Guruku", di awal tahun 2011. Berhubung sampai sekarang aku belum punya majalahnya, aku publish saja di sini, bentuk permintaan maafku pada Pak Arief Ichwantoro dan Popong. karena belum bisa memberikan bentuk fisik majalahnya sampai sekarang, hehehe.
MENDIDIK DENGAN HATI
Miranda Syevira
Miranda Syevira
Seorang siswa menghampiri gurunya sambil berteriak-teriak. Sang guru mengikuti ke meja percobaan yang dikelilingi sekitar sepuluh siswa dan menilik gelas ukur di depannya. “Suhunya kelewat tinggi itu, ya jadi ikan rebus dong. Turunin dulu suhunya, ingat cuma 5 derajat loh ya!”
Dan anak-anak berusia 11 sampai 12 tahun ini kembali mencari akal bagaimana menurunkan suhu air dan memperlakukan Ikan Mas mereka secara hati-hati. Laboratorium kembali disibukkan oleh langkah-langkah kaki dan dentingan gelas ukur. Puncaknya, teriakan ‘Yes!’ dan sorak gembira terdengar ketika hipotesis dalam lembar laporan rampung dibuktikan.
Selalu, begitulah atmosfer ruangan ketika Arief Ichwantoro yang berdiri mengampu kelas. Percobaan tadi hanyalah satu dari sekian banyak ‘petualangan’ Biologi yang dikreasikan dan diperlihatkan Arief kepada anak didiknya. Percobaan berjudul ‘How does the Temperature Affect Organism?’ tadi misalnya, memiliki misi untuk menunjukkan kepada anak-anak bahwa kenaikan suhu dapat berakibat fatal bagi semua mahluk hidup, termasuk manusia. Anak-anak lalu digiring untuk memahami konteksnya dalam Pemanasan Global dan dampaknya bagi masa depan dunia.
Arief telah 30 tahun mengabdikan diri sebagai pendidik siswa Sekolah Menengah Pertama. Dalam kurun waktu itu pula ia berusaha membuat konsep yang berbeda untuk menyampaikan materi pelajarannya. Di hampir setiap pertemuan, guru senior SMP N 1 Yogyakarta ini mengajak siswa untuk mencari sendiri makna di balik fenomena alam terutama yang berkaitan dengan bidang ajarnya, Biologi. Caranya? Dengan menggunakan media alat peraga yang ia kreasikan, ia rancang, dan ia buat sendiri.
“Bapak itu misalnya masuk ke kelas, kasih tugas dulu buat dikerjakan beberapa menit. Terus dia keluar melanjutkan membuat alat peraga untuk materi hari itu. Jadi ketika masuk lagi dia sudah bawa alat untuk diperagakan sesuai bab yang dipelajari,” kenang Affan, putra sekaligus murid Arief ketika duduk di bangku SMP.
Inilah yang membuatnya berbeda. Desember 2010 lalu, keuletannya menciptakan beragam alat peraga membawanya terpilih sebagai juara pertama Lomba Inovasi Pembelajaran Guru se-Yogyakarta. Kegigihannya menggiring siswa dalam pemahaman menyeluruh pelajarannya hingga menelurkan lulusan-lulusan dengan hasil memuaskan tiap tahunnya juga membuatnya dinobatkan sebagai Guru Teladan tingkat Kota Yogyakarta, 2005 silam.
“Banyak yang bilang penemuan alat peraga saya kenapa tidak dipatenkan. Ah sudahlah itu egois ya mbak. Kalau nanti penemuan saya bisa dipergunakan siapa saja untuk membuat siswa semakin paham dan mencintai pelajaran, silahkan saja ditiru, dibuat juga yang sama, nggak usah itu paten-patenan,” ujarnya sambil tertawa.
From Zero to Hero
Pria kelahiran Klaten, 14 Mei 1959 ini sebenarnya adalah lulusan Sekolah Menengah Kejuruan. Perjalanan studi-nya ia tajuki “Sekolah Sepanjang Masa”. Bagaimana tidak, berbekal ijazah D1 tahun 1979 tanpa biaya sama sekali, ia baru bisa melanjutkan studi D2 di tahun 1985. Beasiswa lagi ia peroleh untuk jenjang D3 di tahun 1993 dan perjuangan menemui puncaknya ketika ia mendapatkan bantuan belajar untuk menyelesaikan jenjang Strata 1 Universitas Sardjana Wiyata. Namun ijazah yang ia peroleh justru bukan di bidang Biologi, melainkan Fisika. Selama 10 tahun ia ditempatkan di sekolah terpencil di Kabupaten Gunung Kidul, hingga kini mengajar di dua SMP terbaik di kota Yogyakarta .
“Awalnya kecelakaan, bidang saya Fisika, namun kondisi di tahun-tahun awal saya mengajar membuat saya harus beralih ke Biologi. Namun di sinilah saya memperoleh jiwa. Biologi itu mata pelajaran yang hidup. Siswa tidak berhadapan dengan rumus dan buku saja, namun bisa menelusuri hakikat dari fenomena. Tentang sampah, kesehatan, bahkan Global Warming sekalipun bisa diperagakan. Kalau cuma cerita yang ada di buku ya tidak akan melekat,” papar bapak tiga anak ini.
Pertama kali tiba di Yogyakarta , Arief sempat mengalami konflik batin ketika menghadapi sistem feodal dan konservatif yang masih dipergunakan di sekolahnya 20 tahun lalu. “Beberapa guru masih suka pakai ancaman menurunkan nilai dan pendekatan hukuman pada siswa. Jangan salahkan jika siswa berontak. Seperti air, makin di-press, makin tumpah kemana-mana,” ujarnya
Itulah sebabnya Arief berusaha keras membuat suasana belajar yang ‘ramah’ terhadap siswa. Baginya hal terpenting adalah tidak menekan siswa, apalagi menyamaratakan kemampuan dan mengklaim siswa bodoh. Itulah sebabnya ia lebih suka menggunakan pendekatan ‘apa maunya siswa’ dan berusaha menjadi teman bercerita yang baik, sehingga anak-anak didiknya merasa nyaman.
Kini Arief Ichwantoro semakin dikenal luas sebagai guru berdedikasi setelah menjuarai Lomba Inovasi Pembelajaran Guru 2010 lalu. Ketika itu ia menciptakan model sistem peredaran darah manusia dari papan tripleks yang dibentuk menarik, a la Michael Jackson lengkap dengan moonwalk dan topinya, lengkap juga dengan jalinan selang-selang plastik tebal sebagai model arteri dan vena. Selang kemudian dialiri cairan berwarna merah yang berasal dari pompa kecil menyerupai jantung. Tim penilai juga dibuat terpukau dengan Bong Perokok dengan konsep yang dan bahan sederhana—hanya sisa alat suntik tinta printer, kapas dan rokok—namun bisa dengan tepat menunjukkan dampak buruk racun yang terkadung dalam rokok bagi paru-paru. Alat-alatnya memukau dan menuai apresiasi serta pujian dari sesama pendidik.
Selain pencapaian tertulis dan tak tertulis, Arief juga dipercaya untuk menjabat sebagai ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejenis (MGMP) untuk bidang Biologi. Pelajar Yogyakarta khususnya usia SD dan SMP juga sudah tak asing mendengarkan jawaban-jawaban dan suara hangatnya setiap Rabu sore dalam siaran langsung Tanya Jawab Sains di Radio Anak Jogja, serta di kolom Konsultasi Belajar Siswa (KBS) Online Kota Yogyakarta, bekerja sama dengan pemerintah Kota Yogyakarta.
"Senang sekali rasanya mendengarkan pertanyaan langsung dari anak-anak. Sangat menarik. Misalnya ketika fenomena Halo Matahari di Yogyakarta terlihat jelas, beberapa anak menanyakan tentang apa itu Halo Matahari. Juga bagaimana terjadinya pelangi, fotosintesis dan macam-macam. Saya masih simpan itu, semua pertanyaan mereka," kisahnya.
"Senang sekali rasanya mendengarkan pertanyaan langsung dari anak-anak. Sangat menarik. Misalnya ketika fenomena Halo Matahari di Yogyakarta terlihat jelas, beberapa anak menanyakan tentang apa itu Halo Matahari. Juga bagaimana terjadinya pelangi, fotosintesis dan macam-macam. Saya masih simpan itu, semua pertanyaan mereka," kisahnya.
“Mengajar Bikin Awet Muda!”
Tidak pernah terpikir di masa mudanya untuk menjadi seorang guru. Bahkan hingga kini, begitu banyak kegelisahan yang tetap membuatnya tidak pernah berhenti bertanya.
“Masih ada yang mengganjal saja. Misalnya, guru-guru semakin ke sini semakin kehilangan jiwa dalam mengajar. Para guru kini disibukkan untuk mengejar jam mengajar minimal, 24 jam per minggu. Bagaimana bisa berkonsentrasi pada inovasi mengajar kalau orientasinya biar jam penuh saja? Selain itu di daerah-daerah yang jauh dari pusat ini banyak akal-akalan struktural yang sangat disayangkan, seperti Tunjangan Perbaikan Penghasilan yang ditarik kalau sudah ada dapat Tunjangan Sertifikasi, jam-jam pengajaran yang tidak dihitung. Ini menggelisahkan,” keluhnya.
“Masih ada yang mengganjal saja. Misalnya, guru-guru semakin ke sini semakin kehilangan jiwa dalam mengajar. Para guru kini disibukkan untuk mengejar jam mengajar minimal, 24 jam per minggu. Bagaimana bisa berkonsentrasi pada inovasi mengajar kalau orientasinya biar jam penuh saja? Selain itu di daerah-daerah yang jauh dari pusat ini banyak akal-akalan struktural yang sangat disayangkan, seperti Tunjangan Perbaikan Penghasilan yang ditarik kalau sudah ada dapat Tunjangan Sertifikasi, jam-jam pengajaran yang tidak dihitung. Ini menggelisahkan,” keluhnya.
Namun konsekuensi tetaplah konsekuensi. Kini Arief bersyukur telah menceburkan diri di bidang pendidikan. Meski kegelisahan dalam dunia pendidikan tetap saja tak bisa hilang, mengajar baginya justru merupakan sarana untuk mengontrol kondisi psikologis dan membantu mengurangi stres. Bertemu dengan siswa-siswa yang tidak pernah sama membuat profesi ini dinamis.
![]() |
Arief Ichwantoro dan Model Sistem Peredaran Darah Ciptaannya |
Sejak dulu Arief sebenarnya memiliki misi untuk memberikan pendidikan seks usia dini kepada siswa. Membaca realita generasi muda saat ini begitu menggelisahkan baginya baik sebagai guru maupun orang tua. Baginya, sudah menjadi tanggungjawab bagi para orang tua untuk membentengi siswa dengan pengetahuan dan kekebalan terhadap bahaya seks, terlebih ketika usia mereka telah memungkinkan untuk mengenalnya lebih jauh. Tak hanya itu, masih banyak tujuan yang direncakan Arief Ichwantoro untuk anak-anak didiknya, termasuk melalui penggunaan alat-alat peraga lain yang ia rancang, melalui pembelajaran lapangan hingga lewat seni dan cerita pendek.
“Saya pernah menceritakan kisah Kancil dan Botol pada anak-anak lewat cerpen. Disana saya gambarkan siswa itu seperti botol yang selalu menganga dan bisa diisi apa saja. Sedangkan guru adalah Kancil yang harus bisa cerdik dan menggunakan segala cara untuk mengisi ‘botol’-nya. Analogi ini saya harap sampai pada mereka dan sesama pendidik. Mendidik dengan hati nurani, ibarat mendidik anak sendiri. Sehingga kita sama bangganya ketika mereka berhasil, soleh dan menjadi orang yang bertanggung jawab,” tutupnya.
Ketika ditanya tentang penghasilan, jawabannya singkat. “Gaji tertinggi saya adalah kepuasan menyampaikan pemikiran.”
Komentar