Devil Spends Korean Won!

Rabu, 9 Maret 2011.

Aku punya kebiasaan baik selama tinggal di sini, di Daejeon, Korea Selatan. Tidak hanya secara teratur menuliskan kegiatanku dalam MJ (My Journal, haha) seperti yang sudah kulakukan dua hari ini, tetapi juga mencatat pengeluaran dan pemasukanku secara teliti dan rapi. *langka


Hari ini aku menjumlahkan pengeluaranku selama 2 minggu, dan aku cuma bisa melongo. Aku sudah menghabiskan uang yang kutukar via money changer di Jakarta sebanyak kurang lebih 200.000 Won untuk membeli keperluan hidup di Korea tanpa sisa! (NB: 1 Won=8 Rupiah, maka dalam dua minggu aku sudah menghabiskan lebih dari 1,6 juta Rupiah!). Angka yang fantastis untuk mahasiswa kere seperti aku, mengingat aku bisa menghabiskan uang sebesar itu dalam waktu 3 bulan di Jogja, bukan 2 minggu. Aku juga tidak melihat bentuk fisik yang memuaskan dari benda yang kubeli kecuali bantal dan selimut biru tebal seharga 17.000 Won yang kubeli di Gung Dong. Tadinya aku pede bisa berhemat dengan tidak membeli selimut, tapi untuk orang yang alergi dingin macam aku, hidup di musim dingin di Korea dengan suhu minus 17 derajat tanpa selimut sama saja bunuh diri T_T

 Sore ini aku minta Anna untuk mengingatkanku bahwa aku tidak butuh apa-apa lagi untuk dibeli.  Aku harus menyimpan 35.000 Won yang tersisa untuk hal-hal penting saja. Ketika waktu makan malam tiba, seperti biasa kami mengetuk satu pintu ke pintu lain untuk makan malam bersama: Aku, Anna, Urfi, Anna Weisflog, Alyona, Assel, Chang Li dan Charlotte. [1]Makan malam di Shikdang (restoran atau tempat makan) yang dikelola manajemen dorm tentu saja gratis, sehingga aku jadi lebih bisa bernafas lega. 

Dari kejauhan, etalase di depan Shikdang menampilkan dua menu makan malam, yang salah satunya terlihat sangat mencolok: stik besar dengan setup sayuran, nasi putih hangat dan saus coklat menggoda. Senyum laparku langsung menciut melihat boneka babi pink di samping piring yang menunjukkan bahwa stik daging porsi besar itu adalah stik bab1.

Ada empat muslim di grup makan malam kami hari ini: Aku, Anna, Urfi dan Assel. Demi alasan solidaritas, empat orang lain yang seharusnya bisa makan gratis di Shikdang dan sudah tahu bahwa kami tidak bisa makan babi, memutuskan untuk ikut makan malam di tempat lain yang babi-free. Akhirnya, menembus malam akhir musim dingin yang masih membuat nafas berasap-asap, kami menaiki bus malam kampus menuju resto Kimbap di Gung Dong. Pilihan yang baik bagi semua. Setidaknya, Kimbap yang paling mahal hanya seharga 2.500 Won per porsi. Haha.

Tidak puas dengan Kimbap yang ternyata masih menyelipkan daging babi di antara lobak dan wortel, kami terus menelusuri Gung Dong. Sebuah rumah Pizza menarik mata kami yang masih lapar untuk mampir dan memesan dua Pizza ukuran besar yang kali ini harus babi-free. Tak jauh dari rumah Pizza, seorang ahjussi terlihat jauh lebih ganteng. Bukan karena wajahnya, tapi karena dia menjual ayam panggang guling 10.000 Won per 3 ayam di sebuah pemanggang yang membuat suara gemeretak daging terbakar dan memproduksi bau ayam panggang yang luar biasa. *ada asap bentuk tangan nyolek-nyolek hidung, menyeret kami ke ahjussi ayam panggang guling.

Kenyang dan bahagia, kami melintasi batu-batu besar berlampu biru yang tersusun membentuk jembatan batu di atas sungai: jalan terdekat menuju pusat perbelanjaan terdekat di wilayah kami, Homeplus. Niatku hanya ikut jalan-jalan membakar lemak. Sampai aku melihat deretan botol-botol Yoghurt seharga hanya 1.500 Won per 20 botol—super murah!—dan langsung kuambil, tanpa bertanya: “Do I need this?” I need this! aku kan sering makan yang aneh-aneh, jadi pencernaan harus lancar, usus harus dicintai *iklan.

 Di lantai satu Homeplus, aku teringat sesuatu: memakai pelembab di musim dingin punya hukum Fardhu‘ain. Akibat malas dan tidak terbiasa mengoleskan pelembab kulit dan bibir, beberapa hari yang lalu daerah antara bibir dan daguku mengalami luka karena terlalu kering, dan kakiku mengalami kekeringan parah sampai membentuk pola retak-retak. Serius. Dan sekarang stok pelembab wajahku sudah hampir habis sama sekali. Aku tak bisa membayangkan retak-retak itu pindah ke wajahku! Akhirnya aku mampir ke pojok krim pelembab dan bertanya pada konsultan pelembab di sana dengan bahasa Korea seadanya. Setelah menimbang-nimbang, aku mengambil sebuah krim Pomegranate berbotol cantik yang sedang DISKON untuk menyelamatkan kulit.

*

 Dan sekarang, inilah aku. Terkapar di atas kasur memandangi apa yang sudah aku beli sambil memegangi buku catatan pengeluaran. Hanya Allah SWT dan Safir Senduk yang tahu tepat atau tidaknya keputusanku mempergunakan uang di negara yang nilai mata uangnya delapan kali lipat Indonesia. Yang pasti, aku hanya bisa meratap mengingat aku masih harus hidup di Korea sampai musim panas dan hanya memiliki 500.000 Won beasiswa yang tersisa di rekeningku. Di kepalaku, sekarang aku merasa seperti Isla Fisher di salah satu adegan di Devil Wears Prada yang baru saja berbelanja mantel musim dingin lalu tertipu karena mantelnya palsu, dan mulai menuliskan penyesalannya dalam sebuah tulisan, persis seperti aku. Hanya saja aku lebih beruntung, karena setidaknya 20 botol Yoghurt-ku tidak palsu. *bersulang pakai botol Yoghurt. 



           


[1] Untuk edisi bahasa Indonesia ini, sepertinya aku harus menambahkan sedikit perkenalan bahwa Aku, Anna dan Urfi adalah 3 delegasi Indonesia untuk Global Scholarship Program, sementara Anna Weisflog adalah delegasi Jerman, Alyona Filatova asal Rusia, Assel Seitkhanova cewek Kazakhstan, Chang Li tentu dari Cina dan Charlotte Renard dari Perancis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

My Rareness Has A Name: Kosmemophobia!

"Perkenalkan, Saya Tante Fatimah."

Arsip #3 - Bicara Musik Indie: Tentang Counter-Culture Kapitalisasi Seni

Ibuku?