Sebuah Prolog

Aku masih ingat persis perasaan yang muncul ketika pertama kali melayang di atas lampu-lampu malam Seoul dan Incheon. 22 Februari lalu. keluar dari pintu Incheon Airport dan melangkah ke suhu minus 19 derajat celcius, dengan tujuh lapis baju dan tiga lapis celana, duduk di bis pukul 5 pagi, hingga matahari yang mengantuk membantu mataku untuk melihat bahwa aku memang sedang berada di negara lain: karakter dan huruf-huruf aneh yang tersusun di plang-plang di pinggir jalan dan beberapa gundukan kecil salju putih di pojok bukit dan dataran tinggi yang terlindung dari matahari akhir musim dingin.

Aneh—campuran antara antusias, gembira, tegang, penasaran plus sedikit geli menggelitik di dasar perut. Aku memang sedang berada di negara asing yang tidak pernah terbayangkan untuk kudatangi sebelumnya. Dulu sekali aku pernah bermimpi (benar-benar mimpi dalam tidur) aku tinggal di sebuah rumah kayu tradisional berkasur tipis di lantai—entah apa namanya—di Jepang. Di depan rumah dalam mimpiku itu terdapat sebuah danau kecil kehijauan dan sebuah pohon Sakura besar dengan bangku kayu di bawahnya. Lanskap yang luar biasa adalah bagaimana rangkaian Sakura merah muda di dahan panjang yang menjorok ke luar menutupi sebagian kecil dari badan besar gunung biru keabu-abuan di belakangnya. Fuji mungkin. Atau gunung lain, entahlah. Luar biasa indah. Setelah bangun dari tidur aku bertekad suatu saat harus pergi ke Jepang dan menemukan tempat yang serupa dengan potongan kecil pemandangan dalam mimpi itu.

Tapi aku sekarang berada di sebuah tempat yang berjarak hanya satu centimeter dari Jepang di peta dunia. Hanya terpisahkan selat. Korea Selatan.

Sebulan sebelum berangkat, salah seorang teman[1] berkata begini: “Sayang banget loh kamu nggak suka K-Pop apa K-drama gitu. Padahal kalo kamu suka kayak temen-temenku, kamu pasti bakal jauh lebih antusias dateng ke sana.” Seorang teman yang aku lupa siapa dan kapan dia ber-statement, berkata begini: "Wah, kalo aja kamu Korean addict, rasanya dateng ke Korea itu kayak muslim naek haji!" Teman lain[2] punya ekspresi yang sulit ditebak “Apa? Korea? Gimana caranya? Aku udah lama pengen ke sana, kamu kok bisa? asem!”

Dua teman kos [3] malah berkata: “Sini-sini kita ajarin kamu nonton K-drama. Oppa itu artinya kakak, anyeong haseyo itu apa kabar. Ah, atau mending browsing dulu makanannya kayak apa, kotanya gimana, oke?"

Kusadari aku beruntung. Aku mendaftar scholarship satu semester ini bukan karena aku berharap-harap bisa bertemu Lee Min Ho atau Hyun Bin—sumpah sampai beberapa bulan di sini aku belum tau mereka itu yang mana dan siapa. Aku mendaftar hanya karena ingin mendaftar. Kalau toh ketika itu yang muncul adalah penawaran beasiswa ke Mesir, aku tetap saja mendaftar dan bisa saja sudah bau onta sekarang. Aku buta K-drama, apalagi K-pop. Sementara di sekitarku ada puluhan teman yang tergila-gila tapi tidak mendapatkan kesempatan yang sama denganku.

Tapi siapa bilang aku tidak antusias? Aku super antusias.


*

Saking mengantuknya karena lima jam harus menunggu di bandara—untungnya Incheon International Airport sangat luas, mewah dan menyenangkan—aku dan teman seperjalananku[4] tertidur selama beberapa menit yang lama dengan kepala alam bawah sadar masih mengulang-ulang kata “Cheongbuk Cheongsa”. Kata sakti yang tampak meaningless itu akan membawa kami turun di tempat di mana taksi akan mengantar kami ke kampus dengan ongkos yang lebih murah. Di setiap pemberhentian, kami harus bangun untuk membaca bibir pak sopir dengan seksama dan memastikan bahwa dia belum menyebutkan si kata sakti.

Bis berhenti dengan agak mendadak yang anehnya aku syukuri karena dengan demikian kami bisa bangun dan bertanya kelimpungan pada orang-orang di dalam bis: “Cheongbuk Cheongsa?”[5] Setelah mendengar jawaban aneh yang kedengarannya seperti “e” atau “ye” atau “njeh”, kami memutuskan bahwa itu berarti “ya” sehingga kami harus turun.

Udara dingin kembali menembus baju tujuh lapisku yang herannya tidak membuatku bersin-bersin. Padahal sebelumnya, jika lebih dari beberapa jam berada di ruangan ber-AC, aku pasti sudah bersin-bersin hebat.[6] Tidak seperti ketika  turun dari bis di Pulogadung, Kampung Rambutan atau terminal Karya Jaya, di depanku berdiri pemandangan yang jauh berbeda: deretan gedung-gedung tinggi dengan kaca-kaca gelap dan terang bertulisan huruf lurus-bengkok-bundar[7], jalanan yang bersih, mobil-mobil mewah yang berjalan di sisi kanan jalan dan mengeluarkan uap putih dari knalpotnya, dan yang paling menyenangkan adalah bebas dari sopir atau kernet atau tukang angkut barang yang menarik-narik tas dan tangan agar kita mau naik ke angkot atau taksinya.

Berdiri di pemberhentian Cheongbuk Cheongsa, untuk pertama kalinya aku menginjak tanah Korea Selatan dalam keadaan terang benderang. Menghirup udara akhir musim dingin yang tajam, aku sangat bersyukur.

Seorang bapak berperawakan sedang dengan wajah ramah dan suara hangat menyapa kami dalam bahasa Korea. Tak memiliki gambaran sedikitpun atas apa yang diucapkan si bapak, kami mengikuti arah tangannya yang menunjuk ke sebuah taksi putih yang diparkir di dekat trotoar. Yak, dengan cerdas kami paham tanpa ba bi bu bahwa si bapak adalah sopir taksi yang menawarkan jasa antar dan bersedia mengangkut barang-barang ke bagasi. Kami terus menggelengkan kepala dengan maksud memberi tahu bahwa tidak satu patah kata dalam bahasa Korea pun yang kami ketahui. Kini aku tahu rasanya menjadi bayi yang digigit nyamuk tapi tak bisa bilang bahwa kakinya gatal.


*

Aku tak ingat berapa puluh menit kami berada di dalam taksi. Yang tersisa di jangkauan pikiranku hanyalah betapa asingnya tempat ini. Yang dicari-cari mataku adalah di mana saljunya? Lalu temanku mengingatkan bahwa aku harus memberikan pada Pak Sopir secarik kertas petunjuk alamat yang tak sempat kami cetak di Indonesia. Dengan kelimpungan aku membuka laptop dan menunjukkan rangkaian huruf-huruf asing itu kepada si Bapak. Ia mengangguk-angguk tanda paham. Taksi terus meluncur. Sesekali aku menemukan gundukan salju putih di sela-sela perbukitan. Mataku terus terpaku semacam autis.

Kami berbelok ke sebuah gerbang besar berbentuk segi lima. Lalu memasuki wilayah yang kelihatannya seperti kampus, namun terlalu besar untuk sebuah kampus. Sebuah jalan lurus besar mengikuti gerbang segi lima, dan jauh di ujung jalan lurus tersebut, berdiri bangunan besar dengan anak tangga yang lebar dan tinggi. Rasanya persis seperti memasuki ‘Gerbang 2 Milyar’ Universitas Gadjah Mada, dengan Grha Sabha Pramana di ujung jalannya. Hanya saja di sini tidak ada satpam yang duduk di kursi kayu menanyakan KIK atau menyobek kertas karcis: digantikan rumah monyet mirip yang ada di gerbang-gerbang tol dengan plang otomatis.

Taksi kami berjalan agak jauh ke dalam. Lalu berhenti di bangunan mirip apartemen yang kami yakini adalah tempat tinggal kami selama beberapa bulan ke depan. Setelah mengucapkan ‘thank you’ seadanya kepada si Bapak, kami menembus udara dingin menuju pos penjaga di depan gedung. Masalah selanjutnya, Bapak penjaga juga tidak bisa berbahasa Inggris. Mulai detik itu kami sangat yakin akan puluhan bahkan ratusan kali mengalami hal serupa. Untunglah dengan dokumen seadanya, kami berhasil menunjukkan bahwa kami adalah mahasiswa internasional yang akan berkuliah selama satu semester di kampus tersebut. Setelah menunggu lama, kami dibawa memasuki ruang yang lebih hangat, di mana berdiri dua orang cewek seusia kami yang segera menyalami dan—kali ini syukur Alhamdulillah—mereka bisa berbahasa Inggris. Itulah awal pertemuan kami dengan Stella Kim atau Mi Ri Kim—LO alias supporter berdedikasi—dan Quynh Lam—gadis berwajah Asia yang ternyata berasal dari California, yang kemudian menjadi satu bagian dari keluarga yang tak terlupakan.


*

Setelah mengingat passcode kamar dan passcode dormitori serta deteksi nadi punggung tangan dengan alat sensor khusus, kami kembali harus menembus udara menusuk, kali ini dengan menyorong troli besar berisi seluruh koper, tas, dan sprei putih. Ditemani Stella dan Quynh kami menyebrangi bukan hanya satu, tapi delapan gedung, sebelum akhirnya berdiri di depan 11 Dong: Gedung 11. Gedung paling tinggi dan kabarnya baru saja selesai dibangun.

Kini aku mengerti apa fungsinya deteksi nadi punggung tangan: alih-alih kunci atau kartu, kami harus menggunakan punggung tangan kanan sebagai kunci pintu utama gedung sehingga tidak akan pernah ada istilah ‘ketinggalan kunci’. Aku tidak bisa membayangkan berdiri di luar gedung, terkunci dari luar, dengan udara sedingin ini.

Dengan lift, kami naik ke lantai dua dan Stella menunjukkan kami kamar masing-masing. Butuh 2-3 kali bagiku untuk mengingat passcode kamarku agar tidak dengan bodohnya terkunci di luar.

Temanku, Urfi, akan berada di satu ruang dengan temanku yang lain, Anna, yang baru akan tiba siang nanti. Sedangkan aku, aku belum tahu siapa roommate-ku. Selama beberapa hari ke depan, aku akan tinggal di ruang 208 ini sendirian.

Sama sekali bukan masalah. Sama sekali tidak masalah. Karena aku bisa dengan autisnya menikmati kamar yang masih bau baru, hangat dengan pemanas ruangan yang kabarnya terletak di bawah lantai, lengkap, bersih, kamar mandi yang seperti belum pernah tersentuh, dengan air panas dan air dingin serta kaca super besar, lemari sepatu super besar—yang membuatku berpikir bahwa cewek-cewek Korea pasti sangat suka sepatu—pengatur suhu, air sanitizer, dan AC tanpa remote. Ah, terserah. Sama sekali aku tidak berniat menyalakan AC. Entah mengapa mereka meletakkan AC di negara dingin ini. [8]

Dengan berjingkrak-jingkrak, aku menikmati waktu kesendirianku di kamar ini, di negara ini. Aku membuka tirai, memandang ke luar di mana pepohonan masih meranggas, bersyukur dan tak henti tersenyum. Segera aku mengubungkan laptop dengan kabel LAN dan menghubungi sahabatku: “Kiiiik! Alhamdulillah, aku udah sampe di kampus, di kamarku. Agung (Pangeran Kodok, ed) masih di jalan ke Jogja, ntar tolong kasih tau dia ya.”

Lalu hening.

Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini. Mandi? Terlalu dingin. Makan? Perutku masih terisi ayam goreng yang kusantap di Incheon. Tidur? Ah ya, tidur sejenak sepertinya menyenangkan. Mengingat betapa beratnya waktu yang harus kulalui di bandara. Aku merebahkan diri di atas kasur, memandang langit-langit. Dan berpikir, betapa panjangnya waktu satu semester. Di ruang inilah aku akan tidur setiap harinya. Dan tanpa menunggu lama, mataku meninabobokan aku untuk memulai tidur pertamaku di sini.
                   
                        (Bersambung..)


Barang-barang kami yang seabrek-abrek.

Nunggu sampe subuh di Incheon Airport. Ini bandara loh :D
Gerbang CNU yang tenarnya ke mana-mana. Sudah sampai!





[1] Teman ini namanya Malis Septian, alumnus Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan.
[2] Yang satu ini Marisa, alumnus Antropologi Universitas Gadjah Mada yang, penting ini, nilai skripsinya A!
[3] Kalau yang ini namanya Eureka Canny Putri dan Tika Sastiani, dua mahasiswi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang sudah mau lulus.
[4] Namanya Urfi Syifa, Mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada.
[5] Setelah beberapa lama tinggal di sini baru diketahui kata sakti itu artinya “kompleks pemerintahan”
[6] Ndeso.
[7] Dasar bego, itu namanya huruf-huruf Hangul.
[8] Selanjutnya baru aku menyesal mengatakan ini. Karena di awal musim panas, udara benar-benar panas dan aku akan mengalami temperature shock tanpa AC. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Devil Spends Korean Won!

My Rareness Has A Name: Kosmemophobia!

"Perkenalkan, Saya Tante Fatimah."

Arsip #3 - Bicara Musik Indie: Tentang Counter-Culture Kapitalisasi Seni

Ibuku?