Comeback Stage Begitu Ceritanya
Rasanya sudah lamaaa sekali sejak terakhir kali aku buka blog ini *tiup debu. Dan aku baru bergulat selama 2 jam lebih untuk pemulihan akun Paman Google akibat lupa kata sandi. Yah, aku meng-antisosial-kan diri selama beberapa bulan dari dunia maya—oke, sesekali memang twitteran dan facebookan sih—demi fokus pada pengumpulan data dan penulisan naskah skripsi. Saat ini aku sedang berada dalam periode penantian tiada akhir untuk sidang skripsi dan hingga kini naskahnya bahkan belum dikoreksi oleh dosenku *ambil tisu, ngelap ingus. Suatu siang, ketika bosan menghabiskan waktu untuk tidur, ngemil dan nonton Running Man sepanjang waktu, aku membuka buku coklat yang berisi catatan harianku selama berada di Daejeon, Korea Selatan. Well, sebenarnya catatan ini aku buat pada waktu itu bukan atas kemauanku sendiri, tapi atas keterpaksaan yang aku syukuri pada akhirnya. Sebuah ‘blessing in disguise’.
Adalah dosen kelas Pendalaman Bahasa Inggris-ku di Chungnam National University, Prof. Paul Lee, warga negara Amerika Serikat keturunan Korea Selatan, yang mengampu kelas mirip seperti kelas-nya Freedom Writers. Menurutnya, cara paling tepat dalam membuat seseorang menguasai suatu bahasa adalah menyatu dalam bahasa itu, membuat bahasa itu bagian dari kehidupan sehari-hari, bercerita menggunakan bahasa itu, bahkan bermimpi dalam bahasa itu. Dalam upaya membuatku dan rekan satu kelasku menyatu dengan Conversation in American English yang diampunya, ia memerintahkan kami menulis catatan harian selama satu semester, dan menuliskan apa saja yang terlintas di pikiran, untuk kemudian secara bergiliran dibagi kepada rekan yang lain. Baru setelah tugas itu diberikan, aku menyadari, bukankah tidak sepanjang tahun aku ada di Korea Selatan? Dan bukankah aku bukan anak direktur utama Garuda Airlines sehingga bisa kembali ke Korea Selatan kapanpun aku mau? Oleh sebab itu ide catatan harian ini aku sambut dengan baik meskipun agak terlambat.
Adalah dosen kelas Pendalaman Bahasa Inggris-ku di Chungnam National University, Prof. Paul Lee, warga negara Amerika Serikat keturunan Korea Selatan, yang mengampu kelas mirip seperti kelas-nya Freedom Writers. Menurutnya, cara paling tepat dalam membuat seseorang menguasai suatu bahasa adalah menyatu dalam bahasa itu, membuat bahasa itu bagian dari kehidupan sehari-hari, bercerita menggunakan bahasa itu, bahkan bermimpi dalam bahasa itu. Dalam upaya membuatku dan rekan satu kelasku menyatu dengan Conversation in American English yang diampunya, ia memerintahkan kami menulis catatan harian selama satu semester, dan menuliskan apa saja yang terlintas di pikiran, untuk kemudian secara bergiliran dibagi kepada rekan yang lain. Baru setelah tugas itu diberikan, aku menyadari, bukankah tidak sepanjang tahun aku ada di Korea Selatan? Dan bukankah aku bukan anak direktur utama Garuda Airlines sehingga bisa kembali ke Korea Selatan kapanpun aku mau? Oleh sebab itu ide catatan harian ini aku sambut dengan baik meskipun agak terlambat.
Sudah hampir setengah tahun berlalu sejak aku tiba di Indonesia, namun beberapa hal yang pergi kadang kembali pada kita dengan caranya sendiri (Luna Lovegood, Harry Potter and the Order of Phoenix). Catatan adalah ‘cara tersendiri’ yang bisa membawa aku kembali ke sana kapan saja tanpa perlu beranjak dari kamar. Dalam beberapa entri ke depan, aku akan menulis-ulang dalam bahasa Indonesia (dan meramunya dalam diksi bahasa Indonesia yang jauh lebih nyaman), beberapa momen dan kejadian yang aku alami di Korea Selatan, yang tercatat di catatan harianku di Daejeon selama mengikuti kuliah Prof. Lee, sejak Februari hingga Juni 2011. Lumayan mengisi waktu luang, membagi hal-hal lucu, aneh, dan berharga yang sayang jika terlupakan begitu saja.
Selamat jalan-jalan di Pensieve-ku!
Komentar