Otokritik

"Apa resolusimu tahun ini, Nda?"

Apa resolusiku? Ada atau tidaknya daftar panjang resolusi sebenarnya bukan sebuah patokan. Akan tetapi dengan pertanyaan itu aku sedikit tersadar bahwa sebagai manusia aku belum meninggalkan jejak apapun. Belum meninggalkan tanda-tanda bahwa aku pernah hidup dan melanglangbuana di jagad ini.

Aku sudah begitu sering merencanakan turning point yang dikatakan Anita--peramal jadi-jadian di Facebook--sebagai titik transisi. Namun entah mengapa tak seharipun aku yakin untuk segera melakukannya. Itu sebabnya selain mama dan papaku, aku sangat membutuhkan motivator ulung macam Mario Teguh atau motivator batiniah seperti Arifin Ilham hanya untuk meyakinkanku bahwa perubahan itu bagian terpenting dari hidup. Tapi bocah ngeyel (julukan dari pacarku) ini masih juga belum berubah.

Sore ini ketika hujan deras mengguyur seantero Yogyakarta, aku sadar bahwa (kembali) menulis adalah salah satu titik balik yang harus segera aku mulai. Ya, aku harus mulai! Sejak dulu aku sudah banyak menciptakan tulisan-tulisan lugu nan konyol di halaman-halaman kosong sisa buku tulis yang biasanya sudah tak terpakai setelah bagi rapor. Saking kasihannya, mamaku tercinta membelikanku sebuah buku harian cantik berbunga-bunga untuk mencatat apa saja yang kualami setiap hari--itu sebelum aku tau apa fungsi diary yang sebenarnya. Kejadian  sederhana sehari-hari, cinta monyet, cerpen dan novelet, impian-impian sains gila sampai pertanyaan-pertanyaan untuk Tuhan adalah produk dari tanganku yang tak mau berhenti menulis, bahkan sebelum aku sadar bahwa hobiku ya satu itu, menulis.

Sayangnya ketika semakin tua (umur sudah semacam nama bioskop), aku baru menyesali betapa tidak produktifnya aku dalam menuangkan pemikiran seperti ketika duduk di bangku SD. Aku hanya akan menulis ketika sedang marah pada pemangku kebijakan dan marah pada pacar di buku Kepik Merah Hitam. Akan tetapi pernahkah aku menulis ketika sedang berbahagia atau menemukan poin penting dalam hidup? Rasa-rasanya tidak pernah. 21 tahun kemana aja, Ndul? Pingsan?

Kasihan.

Tapi toh aku siuman lagi. 

Yah, beginilah. Bocah ngeyel pelupa yang ceroboh dan absurd, yang sebenarnya mencintai sastra dan perpaduan kata-kata tanpa aturan dan pembatasan (kecuali kalau dapat honor untuk itu, hehe), yang seringkali autis memandang adegan-adegan yang terjadi di sekitarku ketika berjalan-jalan atau naik bis, yang dengan bodohnya melewatkan semua pelajaran hidup yang berharga itu tanpa mencatatkannya sedikitpun di selembar kertas (sekarang di seperangkat komputer), yang suka senyum-senyum sendiri ketika rampung menulis kejujuran dan luapan-luapan emosional. Puas. Lepas.

Seharusnya Pensieve-nya Profesor Dumbledore diproduksi massal untuk orang-orang dengan short time memory problem seperti aku. Tapi itu khayalan dungu. Akan lebih rasional jika aku menciptakan Pensieve-ku sendiri (terimakasih untuk penemu internet dan komputer) sehingga ketika aku meninggalkan dunia, ada jejak yang mengisyaratkan bahwa aku pernah ada di muka bumi. Dan tanpa perlu berteriak-teriak aku bisa menyampaikan (seperti tulisan-tulisan vandal di tembok dan batang pohon) bahwa:

"MIRANDA WAS HERE!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Devil Spends Korean Won!

My Rareness Has A Name: Kosmemophobia!

"Perkenalkan, Saya Tante Fatimah."

Arsip #3 - Bicara Musik Indie: Tentang Counter-Culture Kapitalisasi Seni

Ibuku?