Mr and Mrs Masterpiece
Belum pernah aku keranjingan pada satu musisi untuk waktu yang lama. Tapi tidak untuk kasus satu ini.
Sejak 2009 hingga sekarang, Mesin Penenun Hujan sudah melekat di jaringan otakku. Kini belum hilang demam gara-gara tenun-tenunan hujan, pertengahan tahun 2010 aku menemukan satu album penuh dari komputer di sekretariat LPPM Sintesa yang selanjutnya menjadi teman setiaku mengerjakan tugas, deadline, mendampingi melamun bahkan tidur.
Starlit Carousel.
Indah,
Langka,
Penuh Kejutan.
Frau--leburan dari Leilani Hermiasih dan Oscar, sang piano elektrik--pertama kali aku temukan lewat pacarku yang juga musisi Indie. Komentarnya singkat saja: "Hah, baru tau Frau? Ckckck.."
Wah aku merasa kuper betul waktu itu, padahal dalam kurun waktu satu tahun tinggal di Yogyakarta, aku sudah merasa wawasan musikku cukup meningkat. Ternyata memang kota yang kudiami ini begitu kaya akan musisi-musisi luar biasa. Semakin dalam aku melihat, semakin banyak yang kutemukan, semakin aku geleng-geleng kepala (atau angguk-angguk gara-gara Catch 33, ah nanti kuceritakan).
Maka ketika aku 'pamer' pada sang Pangeran Kodok (baca: pacar) bahwa aku sedang kecanduan Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa, dia langsung menyahut: "Melbi toh?(Melancolic Bitch), iya iya, emang keren. Yang duet sama Frau?"
Ah sial, emang salah pamer sama tukang musik.
Tentang Frau dan Ugo yang Bercinta di Luar Angkasa.
Ini duet paling super yang pernah aku dengar. Aku memang cinta pada duet Glen Hansard dan Marketa Irglova yang luarr biasa, juga pada om (atau eyang?) Peter Cetera yang selalu sukses besar dengan duet-duetnya yang menghanyutkan bersama Crystal Bernard, Az Yet, Amy Grant, Boyz II Men. Akan tetapi poinnya masih 8 deh dibanding bius Frau dan Ugoran Prasad yang kunilai 9,5 alias nyaris tanpa cacat di segala segi: lirik, perpaduan jenis vokal, aransemen dan satu baris kalimat terakhir yang dinyanyikan dalam nada unik nyaris minor yang membuatku kagum pada Ugo. Orang cerdas. Berkali-kali aku coba menirukan nada miring yang menyayat-nyayat itu (aku nggak lebay, beneran makjleb!), tetap nol besar dan aku malah kelihatan bodoh :D
Kekagumanku tidak hanya berhenti pada performance keduanya yang melumerkan hati, namun sama besarnya pada lirik si lagu sendiri. Interpretasi terhadap lirik ini hampir-hampir membuat cekcok ketika aku diskusikan dengan Pangeran Kodok.
Mari kita hitung ada berapa lagu prismatis, dalam, bernilai tinggi, tidak bisa seketika langsung dipahami dan mengundang persepsi tak terbatas ketika didengarkan lalu membuat kita merenung atau bahkan terpejam masuk ke dalamnya? Semakin sedikit. Ambil contoh tetamu Inbox atau Dahsyat (salah alamat), band-band anyar kini terjun bebaaaas kehilangan estetika dalam meramu lirik, apalagi mengeksplorasi genre. Aku berani bertaruh Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa diadaptasi dari sebuah puisi, atau setidaknya adalah sajak bernada hasil kontemplasi yang sempurna. Kusebut ini sebagai masterpiece Melancolic Bitch selain Mars Penyembah Berhala, Kita Adalah Batu, cerita bersambung-nya Joni dan Susi, aransemen musikalisasi puisi Saprdi Djoko Damono, Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco, Tentang Cinta dan lain-lain. Well, oke, semua! (Aku belum akan menulis apapun sampai benar-benar bisa nonton live performa Melancholic Bitch *ngambek).
Kembali ke si 'Nyonya'.
Kehadiran Frau di dunia permusikan Indonesia kusambut dengan empat jempol, sepuluh deh kalau jari tanganku jempol semua. Jika saja Lani adalah tipe musisi pragmatis, pastilah dirinya sudah gencar berpromosi dan kini sudah melanglang buana ke berbagai penjuru bumi. Aku yakin musiknya yang berkelas dunia akan sangat diterima di luar sana. Namun dari wawancara di sebuah media maya, ia justru menghindari hal semacam itu: terkenal, diperlakukan berbeda atau memberi susu anaknya dari bermusik (Jakartabeat.net: 2010). Well yah, aku mengutip karena belum sempat wawancara langsung dengan cewek yang statusnya adik angkatanku ini. *Tua*
Bandingkan dengan artis-artis berpoles make up tebal bersenjatakan dada dan paha yang dengan mudah berkata "Mau nyoba dunia tarik suara" dan langsung difasilitasi dengan lagu ciptaan orang lain plus perusahaan rekaman besar. Aduh gusti.. Sebagai sesama kaum hawa aku ikut malu. Kuharap ada yang bersedia membawa para silikon berjalan ini ke hadapan musisi-musisi Indie yang lama berdiam di bawah permukaan untuk beradu kualitas, semacam shock therapy. Pasti silikonnya langsung meleleh.
Oke. Istighfar. Lupakan silikon.
Setidaknya melalui musik-musik independen yang berkarakter dan berjiwa, masih ada satu lagi hal yang bisa aku banggakan dari negara ini. Aku sarankan lebih baik segera download Starlit Carousel di sini sebagai penetralisir dari racun oportunisme genre dan kapitalisasi seni yang bergentayangan di media. Masih banyak harta karun yang layak-dengar dan perlu kita gali dan apresiasi lebih jauh. Aku bersemangat karena di kota inilah aku bisa merasakannya sendiri.
Jadi, jika aku berpapasan atau melihat Leilani Hermiasih di kampus, aku serasa ditimpuk buah simalakama. Pengen teriak-teriak ngajak salaman tapi, ah, ekstrim. Kalau cuma lewat dan diam, hei, itu manusia yang suaranya selalu nangkring di playlistku setiap hari!
Sejak 2009 hingga sekarang, Mesin Penenun Hujan sudah melekat di jaringan otakku. Kini belum hilang demam gara-gara tenun-tenunan hujan, pertengahan tahun 2010 aku menemukan satu album penuh dari komputer di sekretariat LPPM Sintesa yang selanjutnya menjadi teman setiaku mengerjakan tugas, deadline, mendampingi melamun bahkan tidur.
Starlit Carousel.
Indah,
Langka,
Penuh Kejutan.
Frau--leburan dari Leilani Hermiasih dan Oscar, sang piano elektrik--pertama kali aku temukan lewat pacarku yang juga musisi Indie. Komentarnya singkat saja: "Hah, baru tau Frau? Ckckck.."
Wah aku merasa kuper betul waktu itu, padahal dalam kurun waktu satu tahun tinggal di Yogyakarta, aku sudah merasa wawasan musikku cukup meningkat. Ternyata memang kota yang kudiami ini begitu kaya akan musisi-musisi luar biasa. Semakin dalam aku melihat, semakin banyak yang kutemukan, semakin aku geleng-geleng kepala (atau angguk-angguk gara-gara Catch 33, ah nanti kuceritakan).
Maka ketika aku 'pamer' pada sang Pangeran Kodok (baca: pacar) bahwa aku sedang kecanduan Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa, dia langsung menyahut: "Melbi toh?(Melancolic Bitch), iya iya, emang keren. Yang duet sama Frau?"
Ah sial, emang salah pamer sama tukang musik.
Tentang Frau dan Ugo yang Bercinta di Luar Angkasa.
Ini duet paling super yang pernah aku dengar. Aku memang cinta pada duet Glen Hansard dan Marketa Irglova yang luarr biasa, juga pada om (atau eyang?) Peter Cetera yang selalu sukses besar dengan duet-duetnya yang menghanyutkan bersama Crystal Bernard, Az Yet, Amy Grant, Boyz II Men. Akan tetapi poinnya masih 8 deh dibanding bius Frau dan Ugoran Prasad yang kunilai 9,5 alias nyaris tanpa cacat di segala segi: lirik, perpaduan jenis vokal, aransemen dan satu baris kalimat terakhir yang dinyanyikan dalam nada unik nyaris minor yang membuatku kagum pada Ugo. Orang cerdas. Berkali-kali aku coba menirukan nada miring yang menyayat-nyayat itu (aku nggak lebay, beneran makjleb!), tetap nol besar dan aku malah kelihatan bodoh :D
Kekagumanku tidak hanya berhenti pada performance keduanya yang melumerkan hati, namun sama besarnya pada lirik si lagu sendiri. Interpretasi terhadap lirik ini hampir-hampir membuat cekcok ketika aku diskusikan dengan Pangeran Kodok.
Mari kita hitung ada berapa lagu prismatis, dalam, bernilai tinggi, tidak bisa seketika langsung dipahami dan mengundang persepsi tak terbatas ketika didengarkan lalu membuat kita merenung atau bahkan terpejam masuk ke dalamnya? Semakin sedikit. Ambil contoh tetamu Inbox atau Dahsyat (salah alamat), band-band anyar kini terjun bebaaaas kehilangan estetika dalam meramu lirik, apalagi mengeksplorasi genre. Aku berani bertaruh Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa diadaptasi dari sebuah puisi, atau setidaknya adalah sajak bernada hasil kontemplasi yang sempurna. Kusebut ini sebagai masterpiece Melancolic Bitch selain Mars Penyembah Berhala, Kita Adalah Batu, cerita bersambung-nya Joni dan Susi, aransemen musikalisasi puisi Saprdi Djoko Damono, Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco, Tentang Cinta dan lain-lain. Well, oke, semua! (Aku belum akan menulis apapun sampai benar-benar bisa nonton live performa Melancholic Bitch *ngambek).
Kembali ke si 'Nyonya'.
Kehadiran Frau di dunia permusikan Indonesia kusambut dengan empat jempol, sepuluh deh kalau jari tanganku jempol semua. Jika saja Lani adalah tipe musisi pragmatis, pastilah dirinya sudah gencar berpromosi dan kini sudah melanglang buana ke berbagai penjuru bumi. Aku yakin musiknya yang berkelas dunia akan sangat diterima di luar sana. Namun dari wawancara di sebuah media maya, ia justru menghindari hal semacam itu: terkenal, diperlakukan berbeda atau memberi susu anaknya dari bermusik (Jakartabeat.net: 2010). Well yah, aku mengutip karena belum sempat wawancara langsung dengan cewek yang statusnya adik angkatanku ini. *Tua*
Bandingkan dengan artis-artis berpoles make up tebal bersenjatakan dada dan paha yang dengan mudah berkata "Mau nyoba dunia tarik suara" dan langsung difasilitasi dengan lagu ciptaan orang lain plus perusahaan rekaman besar. Aduh gusti.. Sebagai sesama kaum hawa aku ikut malu. Kuharap ada yang bersedia membawa para silikon berjalan ini ke hadapan musisi-musisi Indie yang lama berdiam di bawah permukaan untuk beradu kualitas, semacam shock therapy. Pasti silikonnya langsung meleleh.
Oke. Istighfar. Lupakan silikon.
Setidaknya melalui musik-musik independen yang berkarakter dan berjiwa, masih ada satu lagi hal yang bisa aku banggakan dari negara ini. Aku sarankan lebih baik segera download Starlit Carousel di sini sebagai penetralisir dari racun oportunisme genre dan kapitalisasi seni yang bergentayangan di media. Masih banyak harta karun yang layak-dengar dan perlu kita gali dan apresiasi lebih jauh. Aku bersemangat karena di kota inilah aku bisa merasakannya sendiri.
Jadi, jika aku berpapasan atau melihat Leilani Hermiasih di kampus, aku serasa ditimpuk buah simalakama. Pengen teriak-teriak ngajak salaman tapi, ah, ekstrim. Kalau cuma lewat dan diam, hei, itu manusia yang suaranya selalu nangkring di playlistku setiap hari!
Duet Membius Frau dan Ugoran Prasad: http://www.youtube.com/watch?v=5JGPdzoGRHg
Komentar