The Battle of Algiers (1966)
Contentious Politics atau dalam beberapa tulisan diterjemahkan sebagai Politik Perseteruan, pada dasarnya merupakan cara atau usaha kolektif untuk memperoleh posisi tawar yang lebih baik dibanding lawan politiknya. Bisa juga dikatakan sebagai teknik yang merujuk terhadap fenomena-fenomena pergerakan yang sering disertai kekerasan untuk tujuan-tujuan tertentu, lebih kepada upaya menuntut perubahan terhadap tekanan dan dominasi. Ada banyak kasus di berbagai belahan dunia yang menunjukkan bahwa politik seteru bukan sekedar hasil riset di atas kertas, namun benar dapat ditemukan dengan berbagai variasi dan berbagai hasil. Contoh paling dekat adalah Indonesia. Namun saya belum akan membahas Indonesia.
Pada awal masa kuliah saya pernah menonton film satu ini, dokumentasi fiksi berdasarkan kisah nyata tentang pemberontakan masyarakat Aljazair menuju kemerdekaan, The Battle of Algiers. Film ini disutradarai oleh Gillo Pontecorvo dan masuk ke dalam peringkat 120 besar dari penghargaan 500 film terbaik sepanjang masa hasil survei dan analisis Empire Magazine.
The Battle of Algiers merupakan salah satu dari sedikit literatur berbentuk film berbasis kisah nyata tentang perang dan perebutan wilayah yang masih dapat kita temukan, hingga saat ini. Film ini memiliki latar di tahun 1954-1962, menceritakan kronologi perang Aljazair yang terjadi di tahun tersebut dan bagaimana pergolakan politik dalam jangka waktu 8 tahun menuju kemerdekaan Aljazair dari tekanan Prancis. Pergolakan ini tidak hanya melibatkan elit-elit politik dan tokoh-tokoh menonjol saja namun juga semua pihak tanpa terkecuali. Asyik juga ketika di waktu yang sama saya mengikuti mata kuliah Gerakan Politik dan seluk-beluk politik seteru dan film ini menjadi contoh efektif. Membaca perang Aljazair yang dideskripsikan secara detil oleh Pontecorvo dalam kacamata gerakan politik menjadi klop sepertinya.
Perjuangan merebut kedaulatan tidak pernah benar-benar sama dalam setiap Negara. Dalam referensi mengenai Contentious Collective Action berdasarkan tulisan Geddes (1999), dijelaskan bahwa banyak rezim yang berbeda tipe, runtuh dalam cara yang berbeda-beda karena tokoh kunci dalam masing-masing rezim memiliki kepentingan berbeda dan menghadapi lingkungan strategis yang juga berbeda. [1] Maka jenis-jenis gerakan perlawanan kolektif untuk menggulingkan rezim sangat tergantung pada seperti apa rezim yang akan diruntuhkan, apakah Personalis, Militeristik ataukah Partai Tunggal. Masing-masing rezim adalah unik dan membutuhkan teknik yang canggih untuk mampu menganalisa proses-proses di dalamnya. Pendekatan paling lazim untuk dipergunakan oleh Ilmuwan dalam melihat kasus-kasus politik diatas adalah teori gerakan sosial. Namun kasus dalam The Battle of Algiers menurut saya sudah dapat dikatakan relevan dengan pendekataan Dynamic of Contention (DoC) dan dengan demikian akan mampu untuk melengkapi sudut pandang penyampaiannya. Bahkan DoC, menurut saya adalah kacamata yang bisa dipakai siapapun untuk melihat fenomena sejenis konflik politik ini.
Jika bisa dikatakan sebagai alat, maka DoC merupakan alat yang telah mumpuni untuk menjelaskan masing-masing tahap kejadian yang ingin kita ketahui. Demikian kurang lebih dikatakan oleh van Klinken dalam bukunya, Perang Kota Kecil. Ada 5 Proses kunci dalam DoC yaitu: Pembentukan Identitas, Eskalasi, Polarisasi, Mobilisasi dan Pembentukan aktor. Pada The Battle of Algiers, kita bisa menemukan semua proses kunci tersebut.
Front de Libération Nationale atau FLN adalah aktor kunci dalam pergerakan dan pemberontakan terhadap kekuasaan Prancis atas Aljazair. Akar terbentuknya FLN dapat dijelaskan dalam dua proses kunci pertama DoC yaitu Identity Formation dan Actor Constitution. Dalam berbagai jenis perseteruan dan konflik yang terjadi, seringkali penyebabnya adalah sentimen agama dan etnis. Keduanya menjadi sensitif terlebih jika dikaitkan dengan identitas mana yang lebih berhak berada di suatu wilayah.
Untuk ini, kasus Aljazair memiliki kesamaan dengan kejadian di Kalimantan Barat: perlakuan dari salah satu aktor terhadap sebagian dari aktor yang lain dapat menyulut emosi dan kemarahan, saat salah satu diantaranya merasa lebih berhak berada di wilayah yang bersangkutan. Seperti yang digambarkan dalam film, rakyat Aljazair merasa merupakan pemilik tanah air mereka, dengan demikian upaya pengusiran terhadap tentara Prancis harus dilakukan. Saat tentara Prancis bergeming untuk tetap tinggal, FLN bergerilya menjatuhkan mereka dengan cara melakukan serangkaian penembakan gelap, jauh lebih efektif daripada melawan secara terang-terangan. Tentara Prancis membalas dengan meledakkan rumah-rumah penduduk keturunan Arab dan begitu seterusnya. Emosi yang tersulut ini disebabkan karena adanya sense of belonging terhadap identitas mereka. Sekat identitas terlihat jelas saat di tempat-tempat umum perlakuan yang diberikan kepada penduduk Aljazair-Arab jauh berbeda dengan yang diterima penduduk Prancis. Dengan demikian sejak awal, pemilahan identitas ini telah mempengaruhi psikis masing-masing dengan sangat menonjol serta lebih mengikat secara emosional.
Proses lain adalah actor constitution atau pembentukan aktor. Dalam proses ini, aksi repertoir mulai dijalankan. Salah satunya adalah bagaimana FLN terbentuk sebagai sarana pemberontakan. Kemudian melalui proses-proses repertior, bermunculan aktor-aktor baru yang merasa terikat atau dalam bahasa van Klinken “mendadak merasa diilhami’ untuk bersatu membentuk lalu memperkuat organisasi ini. Mereka, yang merupakan orang-orang biasa kemudian menjadi pimpinan pergerakan.
Ketiga, eskalasi. Proses ketiga ini adalah bagaimana sebuah konflik yang awalnya terjadi dalam skala kecil meluas menjadi konflik berskala besar, melibatkan lebih banyak aktor dan tidak hanya terjadi pada satu lokasi. Pada awalnya, hanya Ali la Pointe dan ketiga pemimpin FLN lainnya yang bergerak, namun melalui mekanisme serupa open recruitment, ditambah lagi keterikatan secara emosional, aktor FLN bertambah banyak. Penembakan tidak hanya terjadi di tempat-tempat tidak terjangkau namun juga di seluruh jalanan di Casbah. Pergerakan kemudian melibatkan perakit bom, para wanita, strategi jalur pemindahtanganan senjata yang rapi hingga pemberontakan terang-terangan di hadapan tentara Prancis. Meskipun yang terlibat adalah kedua aktor yang bersangkutan, namun menurut saya ada satu instrumen lagi yang tak kalah penting: media. Media memiliki peran yang besar dalam eskalasi ini hingga ke level internasional yang melibatkan PBB, seperti salah satu adegan dimana para tentara Prancis gelisah akan pemberitaan yang sampai pada PBB lalu adegan lain saat pimpinan FLN menjalani sidang dan konferensi pers khusus digelar untuk pencitraan bagi kinerja tentara Prancis di mata Internasional.
Polarisasi adalah proses selanjutnya. Dalam proses polarisasi, para elit mulai bergerak menjauh satu sama lain, namun mulai mendekati pihak-pihak yang bisa diajak bekerjasama untuk memperkuat kubu masing-masing. Ini terjadi ketika kelompok elit merasakan adanya peluang atau ancaman, mempengaruhi lebih banyak orang agar bersedia masuk dalam koalisi sambil sedapat mungkin menjauhkan mereka dari kontrol pihak lain.[2] Dalam film sangat jelas terlihat bahwa masing-masing pihak bergerak untuk mempengaruhi sebanyak mungkin massa. Seruan ‘FLN calls the Algerian to be warrior!’ dikumandangkan pda pengeras suara di semua tempat. Sedangkan dari pihak Prancis, Seruan lain mengatakan bahwa FLN hanya akan membawa kemiskinan dan ketidaktenangan bagi semua masyarakat sehingga masyarakat lebih baik tunduk pada regulasi Prancis. Intinya adalah pendekatan dengan membentuk framing tentang siapa kawan dan siapa lawan.
Proses kelima adalah mobilisasi. Polarisasi yang dilakukan masing-masing pihak seperti diatas tidak berhenti pada upaya mempengaruhi dan mencari dukungan saja, namun juga memobilisasi. Sehingga seperti yang ditulis dalam Dynamic of Contention, orang-orang yang biasaanya apatis, ketakutan dan tidak terorganisir meledak turun ke jalan.[3] Tampaknya mobilisasi lebih berhasil dilakukan oleh FLN, karena hampir seluruh penduduk Casbah non-Prancis turun ke jalan baik laki-laki, perempuan bahkan anak-anak. Pada akhirnya, massa yang berhasil dimobilisasi inilah yang meneruskan pemberontakan terhadap Prancis bahkan setelah pemimpin pergerakan mereka dibunuh. Mobilisasi yang berhasil, bisa menjadi ancaman besar bagi pihak lawan.
Apa yang dilakukan oleh tentara Prancis dalam usahanya untuk tetap memegang Aljazair adalah upaya militeristik yang mengedepankan pressure, intimidasi, senjata dan interogasi-interogasi yang tidak sesuai dengan hukum dan hak asasi manusia. Cara semacam ini jika tetap dilakukan pada masyarakat yang mulai mengerti pada kekuatan hukum sipil akan menimbulkan gerakan perlawanan yang mungkin tidak bisa diprediksi letusannya. Dalam artikel yang ditulis Jay Ulfelder juga dijelaskan bahwa rezim militer seperti yang ada di Aljazair, jika dilawan dengan kekerasan maka akan semakin menjadi-jadi. Namun semakin kita melakukan upaya non-kekerasan, tentara akan dapat dipukul mundur. FLN yang menggunaklan politik perseteruan, gerilya yang rapi dan pada akhirnya demonstrasi besar-besaran (bukan riots dan perlawanan senjata) mampu menuntut kemerdekaan dari Prancis dan benar-benar merdeka akhirnya di tahun 1962.
Melihat konteks paling fresh, baku hantam politik modern kini tidak melulu menggunakan senjata dan kekerasan ala militer. Media adalah sarana paling efektif dan kini dengan tanpa batasan kita dapat menyaksikan bagaimana para politisi beradu bagai kambing atau ayam aduan di depan seluruh khalayak. Mungkin teori Politik Seteru bisa dipertimbangkan untuk dimodifikasi berdasarkan fakta getir yang terjadi. Sayangnya negara kita adalah salah satu contoh terbaik untuk ini.
1. Jay Ulfelder dalam Contentious Collective Action and the Breakdown of Authoritarian Regimes. International Political Science Review, Vol 26, No.3,311-334, 2005, SAGE Publications.
2.van Klinken, Gerry, Perang Kota Kecil; Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia, 2007, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal 180.
3 Ibid. hal 149.
Komentar