Hello, Goodbye
Minggu, 13 Maret 2011.
Kami—kali ini hanya aku, Urfi, Charlotte dan
Alyona—berencana pergi ke Homeplus alih-alih berdiam di kamar menyaksikan
betapa semua media membuat urusan nuklir ini menjadi berlebihan, terlebih untuk
orang tua kami di negara masing-masing. Agak aneh rasanya berjalan tanpa Anna
yang jangkung menjulang dan selalu tertawa. Di dalam bus menuju Homeplus, aku
tiba-tiba sadar bahwa kami masih
punya janji kencan dengan ‘cowok-cowok’ kami.
09.45 AM
Aku sarapan pukul 8.30 tadi dan kembali ke
kamar setengah jam kemudian. Aku suka sarapan pada menit-menit terakhir, atau
justru ketika Shikdang baru buka, untuk menghindari antrian panjang dan
kursi-kursi yang penuh oleh mahasiswa yang mengambil kelas pertama. Sesampainya
di kamar, aku mandi dan bersiap-siap, karena aku, Urfi, Anna Satriyani, Anna
Weisflog, Alyona, Assel, Charlotte dan mbak Dewi punya janji penting hari ini:
kencan bareng sekelompok cowok Korea
berkursi roda, yang berusia 69-85 tahun.
Oh, kejadian ini terjadi sebelum aku
ditugaskan bertemu kamu ya MJ? Yap, kami bertemu mereka di Jembatan
Cinta—sebuah jembatan kayu cantik dengan bangku-bangku taman dan sebuah ukiran
kayu berbentuk hati di ujungnya—ketika pertama kali berjalan-jalan ke downtown
minggu lalu. Ketika itu kami kebetulan sedang duduk-duduk di bangku-bangku di
ujung jembatan sambil menikmati suasana akhir musim dingin-awal musim semi,
ketika sekelompok cowok tadi datang sambil mengobrol satu sama lain,
masing-masing dengan kursi roda unik yang dilengkapi gadget, GPS, payung, tas,
kantong plastik tempat sampah portabel, dan secangkir kopi. Aku tiba-tiba
merasakan aura adem dan ceria ketika memperhatikan kakek-kakek—yang rata-rata
tidak bisa lagi berjalan karena amputasi dan stroke—itu bercengkrama sambil
sesekali menghirup kopi panas di lengan kursi roda mereka, seolah-olah mereka
sedang tidak menggunakan kursi roda.
Salah satu dari mereka kemudian menghampiri
kami dan bertanya dari mana kami berasal. Sampai di situ kami masih bisa
menjawab bahwa kami adalah mahasiswa Chungnam Daehakgyo. Selanjutnya? Bengong.
Untunglah hari itu kami berjalan dengan Mbak Dewi yang sudah fasih berbahasa
Korea, sehingga komunikasi berjalan sangat baik. Sang kakek lalu memanggil
teman-temannya sambil berkata bahwa kami—tepatnya Mbak Dewi—bisa berbahasa
Korea. Mulai detik itu kami dan sekitar delapan orang kakek Korea tersebut terlibat
obrolan yang menyenangkan, dengan suasana yang menyenangkan dan traktiran kopi
panas yang menambah hangat akhir musim dingin ini. Mereka sangat ramah dan
berkata bahwa rasa-rasanya kami sudah seperti cucu mereka sendiri. Sebelum
berpisah, aku menyerahkan selusin Bandrek instan yang dibawakan mamaku (aku heran, kenapa hari
itu aku berniat membawa selusin Bandrek instan ya?) kepada kakek-kakek tersebut,
sebagai ungkapan terima kasih karena telah mentraktir kami kopi, sambil
mengatakan bahwa Bandrek adalah minuman khas Indonesia yang bisa menghangatkan
tubuh secara alami tanpa alkohol.
“Jinjja?? Yang bener? Buat kami, nih?”
Mereka terlihat senang sekali dan—khas
kakek-kakek Korea—mengucapkan terima kasih panjang lebar sambil menepuk-nepuk
tangan dan lengan kami tanda sayang. Sejak saat itu kami ‘jatuh cinta’ pada
mereka.
Begitulah MJ, kami membuat janji untuk
bertemu lagi hari ini di jam dan tempat yang sama, dengan suasana yang mungkin
lebih baik lagi, karena cuaca sore sedang menunjukkan performa terbaik dua hari
ini.
Tetapi, ketika aku membuka laptop untuk
rutinitas mengecek E-mail, Skype, Twitter dan Facebook sebelum ganti pakaian,
aku kaget bukan kepalang. Sebuah pesan dari Anna (Weisflog) muncul di kotak
masuk:
“My parents
called me and said that I have to take the next flight back to Germany! They
have a fear about this nuclear explosion from Japan! I’ll be back as soon as
possible. Bye L. March 13, 2012. 5:24 am”
What the florian![1]
Memangnya urusan nuklir ini sebegitu
berbahayanya, ya? Segera saja aku cek berita-berita dari media Korea, CNN dan
media-media dari Indonesia dan seketika aku sadar bahwa, ya, ini bisa jadi berbahaya. Gempa dan tsunami
Jepang 2 hari lalu menerjang dan memicu ledakan besar reaktor nuklir di wilayah
Fukushima dan saat ini kekuatan paparan radiasinya berada pada level 5. Sebagai
gambaran, level paparan radiasi ledakan nuklir di Chernobyl, Uni Soviet tahun 1986—bencana ledakan reaktor nuklir terbesar sepanjang sejarah—berada
di angka 7. Hanya butuh dua level lagi untuk membuat Jepang dan negara
sekitarnya ada pada bahaya bencana nuklir terbesar (lagi). Orang tua Anna yang dua-duanya dokter tentu
tahu benar apa dampak paparan radiasi nuklir ini dan tidak mau mengambil resiko
dengan membiarkan anaknya masih tinggal di Korea.
Langsung saja aku mendatangi kamar Anna dan
dia memang sudah pergi, meninggalkan Alyona dengan mata sembap dan ekspresi yang
masih terkejut. Alyona mengatakan bahwa orang tua Anna begitu kuatir,
sampai-sampai mereka langsung memesankan tiket untuk penerbangan pertama hari
ini, dan Anna harus berangkat ke Incheon dengan taksi langsung, tadi subuh. [2]
Dilepas dengan tangisan Alyona dan tepukan pundak Jae-Man. Dan sekarang Anna
sudah di dalam pesawat.
11.30 AM
Tidak ada yang peduli dengan urusan florian nuclear ini sebelumnya, tapi
sekarang, tak butuh waktu lama, Anna’s
fly-back-to-Germany news [3] sudah
menyebar di grup Facebook GSP dan dari kamar ke kamar. Jadi, semua orang mulai gelisah dan panik.
Aku menghubungi mbak Dewi via YM dan dia bilang begini: “Separah itu kah??
Mending kita batalin aja rencana ke downtown-nya..”
Jadilah hari ini Minggu ber-nuklir.
02.00 PM
![]() |
Menuju Homeplus di Minggu Nuklir-fobia: Urfi, Alyona, Aku, Charlotte |
Bagaimana kalau mereka sedang menunggu kami
sementara kami tak juga datang?
Itu jahat namanya!
Tak butuh waktu lama bagi kami untuk mengubah
rencana, dari cuci mata dan belanja stok makanan di Homeplus, bergeser satu
pemberhentian ke Stasiun Wolpyeong. Merasa bertangan kosong, kami bergegas ke
swalayan terdekat untuk membelikan mereka sesuatu: berbungkus-bungkus cookies dan dua botol besar jus buah.
03.30 PM
Jarak stasiun Wolpyeong ke Stasiun Daejeon
City alias Downtown adalah 10 stasiun, namun jika dihitung, waktu tempuh dengan
kereta bawah tanah hanya 30 menit atau kurang. Yang memakan waktu justru
perjalanan dari kampus ke stasiun Wolpyeong, dan dari stasiun Daejeon City ke
Jembatan Cinta. Setidaknya waktu masih menunjukkan jam 4 kurang, kami berharap
kami tidak terlalu terlambat.
Sesampainya di sana, mata kami mencari-cari
namun tidak menemukan siapa-siapa. Kami menunggu sambil mondar-mandir di
jembatan yang satu bagiannya digantungi gembok-gembok cinta pasangan-pasangan
Korea, lalu turun ke tepi sungai yang dipenuhi keluarga yang sedang menikmati
akhir pekan, anak-anak kecil yang berlari-larian dan remaja-remaja pacaran,
seolah-olah berita ledakan reaktor nuklir Fukushima tidak pernah sampai pada
mereka.
20 menit kemudian, salah satu dari kakek
berkursi roda menghampiri kami, entah dari mana munculnya. [4]
Si kakek mengekspresikan rasa bersalah karena teman-temannya yang lain sudah
pulang duluan. Berhadapan dengan ekspresi seperti itu, justru kami yang makin
merasa berasalah karena datang terlambat. Tidak ada kencan hari ini, tidak ada
pesta cookies dan jus di tepi sungai.
Kami lalu menyerahkan kantong plastik besar berisi makanan dan minuman yang
kami bawa pada si kakek. Si kakek lalu menawarkan janji lain untuk bertemu di
World Cup Stadium, karena mereka punya jadwal menyaksikan tim sepakbola kesayangan mereka, Daejeon Citizen,
menjamu lawannya dalam Liga Korea minggu depan. Gila ya! Segerombolan
kakek-kakek di usia itu, dengan kursi roda dan tubuh renta, masih bisa
jalan-jalan tanpa didampingi pengasuh atau anak cucu, dan sekarang merencakanan
nonton pertandingan sepak bola yang biasanya ramai dan sumpek! Mudah-mudahan
semua rencana berjalan lebih baik dari hari ini.
Oh iya, sebelum pulang, kami bertemu dua pria
paruh baya yang mabuk berat—hello, ini masih sore loh—yang terus-terusan
melihat kami dari ujung kaki sampai ujung rambut, berbisik-bisik dan
tertawa-tawa. Karena kami orang asing kah? Ternyata berdasarkan terjemahan si
kakek, pria-pria mabuk itu mengira kami b**c**s.
Berani-beraninya! Pakaian kami tertutup total, kami bahkan lebih sopan
daripada anak-anak sekolah yang sedang duduk-duduk di rumput di tepi sungai itu.
What a florian Sunday!
[1] Suatu
hari di bulan Februari, kami sedang makan di sebuah restoran Timur Tengah di
Gung Dong, yang—tidak seperti masakan Timur Tengah biasanya—makanannya sama
sekali jauh dari enak sampai-sampai the “F” word tidak tahan untuk tidak
keluar. Dengan alasan kesopanan, aku mengganti the “F” word dengan Florian,
nama salah satu rekan GSP dari Jerman. Buat lucu-lucuan, sih. Tapi ternyata
Florian sampai sekarang menjadi kata baku di GSP, untuk menggantikan “F**k”.
Florian dendam padaku sejak itu. (Bercanda, haha)
[2] Jarak
Daejeon-Incheon sama seperti Jogja-Sragen, well, hitung sendiri ongkos
taksinya.
[3]
Menerjemahkannya agak ribet, jadi kutulis mentah saja dari jurnalku, hehe
[4] Kalau saja ini Indonesia, si kakek tidak akan
bisa turun dari Jembatan ke tepi sungai tanpa terjungkal. Sarana dan fasilitas
umum kota ini benar-benar ramah pada para difabel dan lansia. Semua kemungkinan
yang bisa membahayakan para difabel dan lansia atau pengguna kursi roda,
benar-benar diperhitungkan. Jangankan untuk difabel, tempat penyeberangan bebek pun dipasangi rambu-rambu. Serius!
Komentar