Pray for Japan

Jum'at 11 Maret 2011.

Aku tidak keluar sama sekali seharian penuh, jadi kupikir aku tidak punya sesuatu untuk dituliskan dalam jurnal.

Tapi ternyata, aku punya.

Sore tadi, ketika hendak mengambil kopi di mesin penjual kopi di student lounge dan bersiap kembali ke kamar, aku mengerem langkah. Tivi di student lounge menampilkan berita yang mengagetkan: air besar menerjang perkotaan, jembatan , perumahan dan  menghanyutkan sebuah kapal besar ke tengah kota yang hancur. Setengah tak percaya, aku bergegas duduk dan mengamati lagi berita tersebut, tepatnya mengamati gambar dan running text yang ditampilkan, karena beritanya tentu saja dalam bahasa Korea. Kali ini yang ditayangkan adalah rekaman jarak jauh dari air bah besar yang menerjang kota dan mobil-mobil serta kendaraan (atau mungkin beberapa orang) seperti tumpahan air minum di lantai yang mengalir ke arah semut-semut. Mengenaskan, atau menyayat-nyayat, mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan siaran breaking news tersebut. Ingatanku langsung kembali pada bencana serupa di Aceh tahun 2004 lalu. Sekilas aku mendengar kata Ilbon, yang berarti Jepang, lalu angka muncul di running text, menunjukkan jumlah korban tewas yang sudah mencapai seribu orang lebih, dan masih akan terus bertambah.



Masih dalam keadaan kaget, aku menoleh ke Quynh, yang keberadaannya di student lounge bahkan aku tidak sadari. Quynh, yang bahasa Korea-nya ada pada level intermediate, menjelaskan padaku bahwa siang ini telah terjadi gempa besar dan tsunami di Jepang. Yang membuatku heran, setahuku jarak Jepang dan Korea sangat dekat, tapi aku tidak merasakan sama sekali getaran gempa yang kekuatannya mencapai angka 9,0 MW itu. Wow! Ini bisa jadi salah satu gempa terhebat sepanjang sejarah, setelah gempa dan tsunami yang menerjang samudra Hindia dan menyebabkan hampir 200.000 orang meninggal dunia. Aku ngeri membayangkan bencana seperti itu terjadi lagi, dan ngeri dengan angka korban yang akan terus di-update tiap jam oleh stasiun-stasiun televisi.


*

Kami makan malam seperti biasa, meski masih tetap ditemani dengan perkembangan terbaru tsunami dan gempa di Jepang lewat tivi-tivi di Shikdang. Setelahnya, kami tidak langsung naik ke lantai dua, melainkan duduk-duduk di student lounge yang sudah diisi seorang cewek Korea bernama Ta Jong. Aku sedikit menahan tawa karena nama yang aku dengar ketika dia memperkenalkan diri adalah Na Jong. Santai, cuma salah dengar, hehe. Ta Jong adalah maba yang baru pindah ke 11 Dong beberapa hari lalu. Kami yang sudah lebih dulu ada di 11 Dong *sok senior* berbaik hati bersikap seperti senior-senior biasa. Si Ta Jong ini ramah sekali, dan kelihatan sekali berusaha berkomunikasi dengan kami, mengobrol atau mengajak kenalan lebih jauh mungkin. Tapi bahasa menjadi jurang di antara kami. Ta Jong tidak bisa berbahasa Inggris dan bahasa Korea kami juga parah. Tapi cewek lugu berambut panjang lurus ini tidak menyerah untuk terus mengajak kami mengobrol. Selang beberapa menit dalam percakapan yang penuh perjuangan, Ta Jong berbaik hati menawarkan pada kami untuk kapan-kapan main ke kamarnya. Tetangga yang baik. Aku lalu menanyakan nomor kamarnya.

606!

Bisa dibayangkan bagaimana ekspresiku saat itu? Tak ada yang bisa, karena hanya aku dan Alyona yang tahu sejarah di balik angka 606, sedangkan Alyona sedang tidak di student lounge bersama kami. 606 adalah ruangan si maba chubby mabok yang kemarin membuat heboh 11 Dong! Jadi, maba chubby mabok berambut pendek ikal berubah jadi kurus berambut panjang lurus? Oh tidak, bukan begitu. Ta Jong ternyata adalah teman sekamar si cewek mabok. Aku berusaha keras memberi tahu Ta Jong tentang hal ini. Aku hanya ingin tahu bagaimana keadaan cewek itu saat ini (di kiri-kanan, teman-temanku mulai terbahak-bahak). Akhirnya Ta Jong menangkap maksudku dan tertawa.

5 menit setelah Ta Jong pergi, seorang cewek chubby dengan kacamata lebar bergagang tebal masuk ke student lounge, dan kami tak tahan lagi. Sambil tertawa bersama--bukan tertawa pada--si cewek, kami memandanginya lekat-lekat. Si cewek mabok kini kelihatan lebih 'hidup' dibandingkan semalam. Maba itu terus-terusan membungkukkan badan pada kami sambil berkata "thank you" dan "I'm so sorry." Satu-satunya hal yang kami katakan padanya adalah "You are so famous in 2nd floor!"

*

Sekarang, di atas kasur, aku sedang mencatat jurnal ini sambil terus meng-update info mengenai gempa dan tsunami Jepang dari CNN, BBC dan beberapa stasiun TV Indonesia. 3 teman Jepang kami belum juga kelihatan. Kuharap tidak ada satupun dari keluarga dan rekan mereka yang terluka atau hilang.

Pray for Japan.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Devil Spends Korean Won!

My Rareness Has A Name: Kosmemophobia!

"Perkenalkan, Saya Tante Fatimah."

Arsip #3 - Bicara Musik Indie: Tentang Counter-Culture Kapitalisasi Seni

Ibuku?