Arsip #5 : Kreatifitas Tiada Henti (Dipublikasikan di Majalah Kabar Tani)


Ini termasuk salah satu tulisan yang proses kelahirannya paling berat: liputan mendadak ke luar kota yang sama sekali belum pernah aku datangi sebelumnya, pencarian ATM yang memakan waktu hampir 2 jam, kehabisan bis dan travel untuk pulang ke Jogja, mengejar bis terakhir dengan ojek melewati jalanan sempit curam di tengah hujan--tanpa helm--untuk kemudian berangkat lagi ke Jakarta keesokan subuhnya. Hal terbaik hari itu hanyalah kemenangan Indonesia  2-1 atas Thailand dalam final penyisihan grup A piala AFF 2010, yang aku saksikan di televisi bis Sumber Kencono yang hidup segan mati tak mau. 

Oh iya, artikel ini dimuat dalam Majalah Kabar Tani edisi Desember (atau Januari ya?) dalam rubrik Teropong Tokoh.

KREATIFITAS TIADA HENTI

Miranda Syevira

Jalan yang kecil dengan tikungan-tikungan tajam adalah rute yang harus kami tempuh menuju desa Pringkuku. Namun setibanya di wilayah asri ini, tak ada kesulitan untuk menemukan sebuah rumah dimana semua kelompok tani biasa berkumpul dan berbagi satu sama lain. Di rumah sederhana inilah kami menjaring cerita bersama Supadmiyati—ibu sederhana punggawa Gapoksi  Pringkuku—yang dengan tangan terbuka berbagi kisah dengan Kabar Tani.

Hidup di daerah pedesaan di pelosok kabupaten Pacitan tidak melunturkan semangat ibu dua anak ini untuk berinovasi. Saat Unilever dan Gabungan Kelompok tani Pringkuku bersama-sama membentuk Gabungan Kelompok Sortasi (Gapoksi), dengan antusias ia menyambut aktifitas baru yang bisa ia dan rekan-rekannya jalani. Namun Bu Padmi—sapaan akrabnya—tak menduga akan terpilih dalam prosesi pemilihan ketua Gapoksi 1 Februari 2009 lalu.
“Saya merasa belum cukup mampu. Kepandaian saya terbatas, mbak,” ujarnya merendah saat ditemui tim redaksi Kabar Tani di ‘markas’ Gapoksi yang untuk sementara ini masih menumpang di Gabungan Kelompok Tani desa Pringkuku, Kota Pacitan.
Gabungan Kelompok Sortasi yang telah dipimpinnya selama hampir 2 tahun terakhir adalah Gapoksi pertama yang pernah dibentuk di tingkat petani. Terorganisir dengan baik, Gapoksi ini terdiri dari 14 kelompok sortasi di seluruh desa di Pringkuku. Meski belum memiliki markas tetap dan masih setia dengan sistem anjangsana di tiap pertemuannya, ibu-ibu ini tidak mempermasalahkan. “Kita mengadakan pertemuan di tanggal 27 tiap bulannya, tempatnya bergiliran. Nanti ibu-ibu mengadakan rapat, arisan dan yang pasti adalah tukar menukar cerita,” tutur Ibu Supadmi.
Di setiap masa panen Kedelai Hitam, Ibu-ibu Gapoksi Pringkuku bisa menghasilkan biji kedelai terpilih dengan berat bersih 17 ton 680 kilogram. Selain sortasi, mereka juga mengisi waktu dengan beragam kegiatan inovatif. “Kedelai Hitam yang tidak lolos sortasi kami manfaatkan sebagai komboran (pakan sapi, red) dan tempe. Sejauh ini baru dikonsumsi sendiri, nanti tetap ada usaha untuk dipasarkan,”  ujarnya.
Meski tinggal di daerah pedesaan yang jauh dari berbagai akses teknologi tinggi, Bu Supadmi tidak sekalipun mengeluhkan semua keterbatasan. Bersama-sama dengan perempuan-perempuan tangguh dari kelompok-kelompok Sortasi Pringkuku, ia mampu menyulap sampah menjadi perabot rumah tangga, taplak meja, tas dan beragam kerajinan lainnya. Masa tanam Palawija juga membawa rejeki tersendiri, karena ia bisa meningkatkan nilai jual ketela dengan mengolahnya menjadi tepung cassava atau sering disebut Mocav.
“Tepung dari ketela ini bisa digunakan untuk bahan baku kue, rempeyek, juga sebagai tepung yang dipakai untuk tempe dan pisang goreng. Awalnya memang dipakai sendiri namun sejak dijual di warung-warung, permintaan malah tambah tinggi. Kan dapat penghasilan tambahan lagi,” papar wanita asli Pacitan ini. “Kemarin itu (27 November 2010, red), karya kami dari kelompok sortasi Kisbangun berupa taplak meja dari sedotan dan kerajinan dari bungkus mi instan juga dipamerkan di acara Apresiasi Pemberdayaan Wanita Kedelai Hitam di Balai Desa. Laku juga Alhamdulillah,” lanjutnya sambil tersenyum.
Wanita kelahiran 21 Juni 1965 ini sejak awal telah turut mengambil peran sebagai penopang tiang ekonomi keluarga. Bersama sang suami yang berstatus sebagai guru di SD N 3 Pringkuku, Ibu Supadmi tidak mau kompromi untuk urusan pendidikan. Sang putri sulung kini telah bekerja sebagai seorang perawat berbekal ijazah strata satu dari sebuah sekolah tinggi keperawatan di Yogyakarta. Putra keduanya sedang menempuh pendidikan di bangku kelas 3 SMP. Semua upaya keberlanjutan pendidikan ia lakukan dari menjual roti, keripik, geplak ataupun berbagai pesanan lebaran. Dengan semua usaha membantu sang suami, beliau tetap tidak absen mengkoordinir dan merencanakan program-program baru untuk Gapoksi Pringkuku.
“Lumayan banyak lah ya kegiatannya. Ada juga Kobar yang keluarnya setiap minggu, juga cerita bergambar yang dibikin di tiap kelompok Sortasi. Kemarin April 2010 pas ada gathering di Pacitan, kelompok saya dan Bantul dapat juara,” kenangnya. Tentang langkah ke depan, harapan Ibu satu ini tidak muluk-muluk, Kepinginnya nanti bisa mewujudkan pembuatan susu kedelai dari sisa sortasi. Kalau untuk sekarang sih saya berharap Gapoksi bisa punya markas tetap seperti gapoktan, biar bisa lebih rapi dan bersemangat. Yah pokoknya Gapoksi kita harus maju, bagaimanapun caranya!” tutupnya dengan penuh semangat. 


  



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Devil Spends Korean Won!

My Rareness Has A Name: Kosmemophobia!

"Perkenalkan, Saya Tante Fatimah."

Arsip #3 - Bicara Musik Indie: Tentang Counter-Culture Kapitalisasi Seni

Ibuku?