Arsip #4 : Berdamai dengan Alam (Dipublikasikan oleh Majalah Kabar Tani)
Tulisan ini berada dalam rubrik Fokus Kita dalam majalah CSR PT Unilever Tbk: Kabar Tani, akhir tahun 2010. Lagi-lagi, kemalasanku menyusun portofolio membuat aku tidak pernah melihat bentuk tulisan-tulisanku ketika sudah di-publish.
BERDAMAI DENGAN ALAM
Miranda Syevira
Tidak perlu
sering-sering ‘menghabisi’ hama dengan pestisida dan metode-metode yang
menguras biaya. Para petani di Desa Jatirejo,
Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo
ini sudah punya paten tersendiri. Kerusakan alami, harus disiasati dengan cara
alami pula. Mereka menyebutnya sistem Padi-Padi-Polowijo.
Tidak semua wilayah bisa dengan sukses
mengaplikasikan sistem tanam selang-seling satu ini. Namun tidak demikian
halnya dengan Desa Jatirejo. Serangan hama wereng yang tak berkesudahan membuat
produktifitas hasil pertanian sempat turun drastis di tahun-tahun sebelumnya. Meski
awalnya petani berupaya mengatasi dengan pestisida dan cara-cara manual, hal
ini tetap sia-sia. Frustasi, petani ramai-ramai bergerak ke pola tanam yang
telah digagas Dinas Pertanian Kulon Progo sejak tahun 1980, yang lebih dikenal
dengan siklus Padi-Padi-Palawija. Berawal dari 1-2 petani, kini seluruh lahan
sudah merasakan manfaat siklus yang ‘menyiasati’ karakter alam.
Manfaat perubahan pola tanam kini dirasakan benar
oleh para petani. “Beberapa tahun terakhir sudah jadi paten di sini. Kalau
menyalahi sistem, produktifitas jelas akan menurun. Jadi kita sudah bisa nyaman
sekarang, perawatan tidak terlalu sulit, hasil juga bagus,” tutur Bambang, ketua
Gapoktan desa Jatirejo.
Pada tahun-tahun awal sistem ini disosialisasikan,
para petani masih acuh tak acuh. Pola
pikir yang belum beranjak dari kepuasan melihat hasil padi yang melimpah
membuat petani enggan menyelipkan penanaman Palawija dalam waktu tiga bulan per
tahun. Namun dengan sosialiasi tanpa henti dan praktek yang berhasil dibuktikan
oleh petani-petani pionir di awal 1990an, terbukti sistem ini adalah solusi
terbaik bagi lahan pertanian di Lendah, Kulon Progo.
“Dulu dinas pertanian sering mensosialisasikan pola
tanam ini ke petani, tapi sulit, maunya padi terus. Mungkin karena belum
merasakan sendiri manfaatnya. Tetapi sekarang setelah merasa enak, semua petani
sudah terus pakai pola ini,” ujar Sugiharto, salah satu petani yang juga
merupakan pengurus Koperasi Simpan Pinjam Mekar Mas, Jatirejo.
Memutus
Sirkulasi Wabah Wereng
Hama Wereng adalah biang keladi terbesar gagalnya
panen di Desa Jatirejo, selain hujan berkepanjangan dan curahan abu vulkanik
gunung Merapi beberapa waktu yang lalu. Namun petani sudah mempercayakan
produktifitas panennya terhadap sistem Padi-Padi-Palawija. “Kalau di daerah
lain seperti Bantul dan Sleman kan
padi terus-terusan, kalau begitu kasihan tanahnya, kasihan juga hasil panennya.
Hamanya tidak akan putus-putus. Kalau disini ya ikut pola semua. Dan itu
waktunya sudah standar, antara masa tanam Padi 1, masa tanam Padi 2 dan
Palawija” ujar Bambang.
Pola tanam ini membagi waktu satu tahun ke dalam 3
masa tanam. Bulan September adalah periode pengolahan tanah untuk masa tanam
(MT) Padi 1. Bulan Desember panen. Januari sampai awal Februari MT 2 dimulai,
lalu dipanen bulan April. Selanjutnya tanah sudah harus diistirahatkan. Inilah
waktu bagi para petani untuk mulai menanam Palawija. Pada bulan Juli hingga
Agustus awal saat hama belum menetas, kedelai sudah harus dipanen. Dengan
strategi seperti ini, hama tidak akan sempat merusak hasil panen kedelai.
“Tidak bisa
bergeser sedikitpun, mbak. Kalau
mundur masa tanamnya, meski diatasi dengan cara apapun tetap akan gagal panen.
Bulan Agustus kan ulat sudah berkembang biak semua, sudah menetas, akhirnya tanaman
rusak semua,” ujar Bambang.
“Kemaren kan
untuk Sekolah Pertanian pernah istilahnya eksperimen, coba tanam mundur dari
jadwal. Kelihatannya bagus awalnya, sekilas kepingnya juga bagus. Tapi pas
sudah mau panen semuanya rusak. Kalah sama hama,” tambahnya.
Jatuh Hati pada
Mallika
Sejak pola penanaman Padi-Padi-Palawija menjadi tradisi
yang diterapkan semua petani Jatirejo, masa tanam palawija diisi dengan jagung
dan kedelai putih. Namun setelah tahun lalu mendapatkan tawaran untuk menanam
kedelai hitam varietas Mallika, para petani mulai beralih dan merasakan
perbedaan dalam hal pengolahan lahan dan hasil panen. “Tahun kemarin (2009, red) panen kedelai gagal total, kedelai
putih semuanya rusak, nggak ada yang tumbuh. Tapi Alhamdulillah kedelai hitam
nggak ada masalah, masih bisa produksi 1,46 ton, padahal sedang kebanjiran”
terang Sugiharto.
“Makanya tahun ini untuk Palawija petani lebih enak
tanam kedelai hitam. Lebih tahan,” tambahnya. Kini sekitar 50 persen atau 1/3
lahan pertanian di wilayah Jatirejo telah dipergunakan untuk kedelai hitam.
Untuk makin meningkatkan hasil panen kedelai hitam di wilayah ini, para petani
selalu berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan seperti Sekolah Pertanian,
pendampingan dari dinas pertanian dan dari peneliti Universitas Gadjah Mada.
Rusdianto adalah salah seorang petani yang memilih
mengolah petak-petak sawahnya untuk penanaman kedelai hitam jenis Mallika untuk
masa tanam Palawija, daripada menanam jagung atau kedelai putih. Menurut pria
paruh baya ini, kedelai hitam jauh lebih kuat dan mudah perawatannya.
“Bunga dan
polongnya itu nggak rontok. Kalau
kedelai putih kan mudah rontok.
Padahal gulmanya lebih banyak kedelai hitam, sampai disiangin tiga kali. Tanamnya
bareng, perawatannya sama, tapi kedelai hitam lebih tahan,” ujar Rusdianto.
“Saya senang saja tanam kedelai hitam, selama
Unilever masih menghendaki saya sih mau sekali. Tapi kalau tidak ya mau
ditampung di mana? Kalau kedelai putih kan nggak usah kemana-mana sudah
dicari-cari tengkulak, walaupun panennya tidak selalu bagus. Yah begitulah
masalahnya,” sambungnya.
Belajar dari
Pengalaman
Inovasi-inovasi yang bermunculan kemudian tidak
hanya pada pola Padi-Padi-Palawija. Meski awalnya cukup sulit, masih banyak
petani Jatirejo yang terbuka terhadap hal-hal baru yang belum pernah dilakukan
sebelumnya. Berbagai cara dilakukan oleh petani-petani ini untuk meningkatkan
produkstifitas kedelai hitam. Seperti aplikasi sistem Legowo dan menyiasati
sifat tanah.
Sistem Legowo awalnya diterapkan secara mandiri oleh
Rasyid, petani yang juga merupakan ketua kelompok tani beberapa tahun yang
lalu. Sistem ini juga mampu mengurangi penyebaran hama dan dapat menampung
lebih banyak sinar matahari. Namun sama halnya seperti pola Padi-Padi-Palawija,
tidak ada satupun petani yang mau mencoba pada awalnya, “Eman-eman tanahnya, kok malah tidak ditanami. Dalam pemikiran
petani-petani tua kan nanti hasilnya sedikit. Tapi setelah lihat hasilnya malah
lebih banyak, akhirnya semua ikut pakai. Termasuk bapak saya,” ujar Rusdianto
sambil tertawa.
Efisiensi penerapan sistem jejer Legowo juga sangat
dirasakan. Jarak-jarak yang telah dibuat untuk padi pada masa tanam 1 dan 2
masih bisa dipergunakan untuk menjadi patokan bagi masa tanam kedelai hitam.
Hal ini jauh mempermudah kerja petani. Masaing-masing masa tanam menjadi saling
menguntungkan.
Begitu juga dengan trik menyeimbangkan nutrisi
tanah. Tanah untuk pertanian di desa Jatirejo yang kelebihan unsur Nitrogen
seharusnya tidak dibubuhi lagi dengan pupuk Urea yang berlebihan. “Tapi petani
sini nggak biasa pakai Urea sedikit, katanya nggak mantep. Jadi walaupun tanah
sudah kelebihan asam, masih saja ditambahi Urea. Kan bisa rusak,” tutur
Rusdianto.
Namun kini dengan bantuan dinas pertanian dan
kelompok-kelompok tani, petani mulai diberikan pemahaman akan pentingnya
pengurangan Urea dan penambahan pupuk kandang atau pupuk organik dari kotoran
ternak. Selain murah, pupuk organik terbukti meningkatkan daya tahan tanah dan
hasil panen menjadi lebih memuaskan. “Ya begitu mbak, kalau belum ada yang mau memulai, nggak akan ada yang coba. Tapi namanya mau berkembang, jadi belajar
dari pengalaman terus. Hasilnya ya seperti sekarang. Mudah-mudahan tahun depan
juga tetap bagus,” tutup Rusdianto.
Komentar