Kisah Negeri Farfaraway *
Alkisah, sebuah negeri dikarunia harta bawah tanah yang
begitu kaya. Di satu titik, sumur mereka menyemburkan minyak. Sementara di titik
lain, batu bara terdorong keluar oleh cangkul petani paruh baya yang hendak
menanam kentang. Gas alam terpancar di beberapa gundukan batu yang dijadikan api
abadi oleh para penduduknya. Beberapa memasak air, memanggang kalkun bahkan
menghangatkan diri ketika musim dingin singgah.
Negeri ini bernama negeri Farfaraway. Istananya megah dan
indah berpoles warna-warna cerah. Para anggota kerajaan dan para pegawai
kepercayaan hidup sangat berkecukupan. Tidak demikian penduduknya.
Tahun ini, para penduduk yang bekerja sebagai buruh istana di negeri Farfaraway harus bekerja
melewati jam kerja. Mereka mendapat tugas ekstra menggali sumur, menggemburkan
lahan kebun dan membersihkan kamar raja lebih dari biasanya. Namun
berulang-bulan para buruh mendapati upah mereka tidak bertambah. Selama
berbulan-bulan, dari mulut ke mulut, mereka mendengar kata “lembur hangus” ,
namun tidak ada satupun yang menuntut tanya.
Suatu hari, seorang pekerja baru yang bertugas menjadi jubir istana menyadari ada kesalahan dari hangusnya upah lembur para buruh lama. Buruh baru ini, Jubirwati namanya. Melihat keluhan-keluhan dari rekannya sesama buruh istana, Jubirwati berkata dalam hati yang mendidih: “Betul apa yang dikatakan kakek guru, selamanya pelayan akan dieksploitasi, dan selamanya kerajaan akan mengeksploitasi.”
Jubirwati, sebagaimana keyakinannya dari teori-teori yang ia
pelajari dari sekolahnya di bawah pohon mengkudu bersama kakek dan beberapa
guru tua, diam-diam menyelidiki istana. Yakin betul istana telah berbuat curang
terhadap slip upah buruh mereka. Hasil pengamatannya membuatnya heran!
Sang Raja tidak pernah absen membubuhkan stempel persetujuan
pada tumpukan perkamen permintaan pencairan koin emas untuk upah para pelayan
istana. Jumlah upah pada lembar persetujuan berimbang dengan jam lembur para
pelayan. Gudang koin emas yang dipenuhi jajaran rak-rak kayu berisi kantung
koin emas upah para pelayan selalu dicek oleh sang Raja setiap petang. Di mana
letak salahnya?
Jubirwati lalu menemui Bapak Peri. Seorang Peri yang memiliki
pabrik gigi, yang kemudian mengajukan diri menjadi Bapak dari semua buruh
istana, karena para buruh tidak bisa diasuh oleh pihak kepercayaan kerajaan yang sudah memiliki pekerjaan terlalu banyak. Tugasnya membagi-bagikan kantung koin emas upah para pelayan
istana setiap bulannya.
“Jubirwati, kau mau tahu saranku, Nak? Tidak usah ambil pusing.
Apakah upahmu berkurang? Apakah lemburmu ikut hangus?”
“Tidak..”
“Maka, bagimu gajimu, bagi mereka gaji mereka”
“(Bukan.. bukan itu
yang diajarkan oleh kakek guru..)”
“.. toh, mereka saja tidak pernah mengeluh kepadaku..”
“Tapi mereka punya anak istri! Kenapa tidak diberikan saja
sisa koinnya?”
“Anakku, semua ada prosedurnya. Jika mereka mau koin emas
hasil lembur, putarilah kerajaan sebanyak lima kali. Pada putaran kelima di
sudut 48 derajat dari menara barat, galilah gundukan tanah yang lebih tinggi 2
senti dari gundukan tanah di sekitarnya. Di dalamnya ada setumpuk gulungan
perkamen lembur. Isilah perkamen itu, bubuhkan cap jari kepala dapur dan kepala
kebun, ajukan kepada raja, mintalah stempel, lalu berikan kepadaku. Niscaya
mereka akan dapatkan sisa koinnya. Ingat, jam yang diisi tidak boleh lebih dari
30 jam dan harus diserahkan tidak kurang dari pukul 12 malam pada saat bulan
bulat sempurna.”
“Untuk mendapatkan haknya saja mereka harus melakukan itu? Undang-undang
istana tidak pernah menyatakan aturan seperti itu!”
“Itu aturanku. Istana mengijinkan aku mengelola para buruh
dengan peraturanku”
“Lalu mengapa mereka tidak pernah kau beritahu?”
“Buktinya kau
kuberitahu. Seharusnya mereka bertanya sepertimu.”
Untuk menghindari pertengkaran, Jubirwati meninggalkan
ruangan Pak Peri. Penduduk setempat pernah bilang, jika naik darah, Pak Peri bisa
merontokkan gigi siapa saja yang dilihatnya. Jubirwati bergidik
membayangkannya.
*
Keesokan harinya, Jubirwati menyebarkan berita tersebut
kepada dua buruh yang paling sengsara yang pernah diketahuinya: Obewan dan
Ogewati, dan menginformasikan kepada sebanyak mungkin buruh lain yang bisa
ditemuinya. Jubirwati menanamkan kesadaran akan hak dan berkata bahwa jika cara
yang dikatakan Pak Peri tidak berhasil, mereka harus berunjuk rasa pada Peri
tersebut.
Para pelayan dan buruh istana lainnya sangat bersemangat. Jubirwati
begitu bangga dan berapi-api. Tak mudah mengeluarkan mereka dari ketidaktahuan
dan ketidaksadaran atas hak, terkadang mereka masih takut akan dampak yang bisa
ditimbulkan dari sebuah tuntutan. Maka untuk menyadarkan para pelayan, ritual
memutari kerajaan dan mengisi perkamen-perkamen lembur dilakukan Jubirwati
sendiri. Alhasil, bulan itu, semua buruh memperoleh koin emas lembur mereka
dengan hati bahagia.
Satu bulan berlalu. Jubirwati mengingatkan rekan-rekannya
untuk menjalankan aturan pengisian perkamen lembur demi terpenuhinya hak
mereka. Hanya tiga orang saja yang melakukannya. Obewan berkata, sisa koin emas
bulan lalu masih ada. Sementara Ogewati mengaku dirinya tidak terlalu banyak
melakukan lembur sehingga tidak perlu diajukan upahnya. Jubirwati maklum. Sebuah pencerahan tidak selalu berjalan mulus.
Bulan ketiga, Ogewati dan beberapa pelayan wanita mengatakan
takut untuk menghadap kepala dapur sendirian. Diam-diam Jubirwati kembali mengisi
perkamen lembur milik mereka dengan tangannya. Obewan dan Ogewati dan
rekan-rekannya begitu bahagia mengetahui slip upah mereka kembali menunjukkan
angka yang sama tinggi dengan bulan sebelumnya. Mereka mulai berniat membeli
kuda.
Pada bulan keempat, Jubirwati kembali mengingatkan untuk
mengisi surat lembur mereka. Sampai pada hari yang telah ditentukan, Obewan, Ogewati
dan para buruh di departemen yang sama ternyata tidak juga menyerahkan surat
lembur mereka. Jubirwati menahan emosi.
“Bukankah kau sudah berkata bahwa pendapatanmu bulan kemarin
jauh lebih besar setelah kau ajukan perkamennya, dan kau sangat bahagia
karenanya? Bukankah kau berkata kau mau menggunakan kelebihan upahmu untuk
mencicil kuda gagah yang akan membawamu bekerja setiap harinya? Mengapa bulan
ini tidak kau serahkan saja suratnya?”
“Sudah kukatakan aku takut, Jubirwati. Aku takut ketika
meminta cap kepada kepala dapur, dia akan berkata: “Kamu? Untuk apa kamu mengisi surat lembur? Dasar pelayan yang tidak
bersyukur!”
“Ogewati, uang lembur adalah hakmu. Lagipula sekalipun
kepala dapur tidak pernah mengatakan itu setiap kali ia harus membubuhkan cap
jari. Bagaimana kau bisa membiarkan ketakutan tak beralasan itu menghalangimu
dari mengambil hakmu?”
Namun, keesokan harinya, Jubirwati mendapati surat lembur
tetap tergeletak di meja tanpa tersentuh.
Jubirwati tak tahan lagi.
Sembari membalik badan dan menaiki kudanya, ia mengumpat penuh kekesalan.
“Peduli setan.”
*Fiksi-awur dari kisah nyata tentang sebuah apatisme
terhadap apatisme lain yang menimbulkan apatisme baru atas kesadaran hak. Bisakah dikatakan sebagai keputusasaan seorang kelas menengah? Anyway, selamat hari buruh!
Komentar
Dulu ogah-ogahan banget claim-claim sesuatu di kantor. Sekarang, barang airport tax 40,000 perak aja aku claim ke kantor.
Hehehheh.,
Man-eman Can, ongkos airport tax mungkin nggak gede2 banget, tapi buat yang membutuhkan pasti efeknya beda :)