Another Reason to Thank God #1
Barusan, baruuuuu saja, saya mengantarkan seorang Ibu meninggalkan kantor.
Jam 2 tadi, pintu ruangan saya diketuk oleh sekuriti dari Main Gate.
"Mbak, ada ibu-ibu dateng katanya mau ketemu.."
"Siapa, Mas? Mau ketemu siapa?"
"Siapa aja katanya Mbak.."
"Loh?"
Sembari menuju teras kantor, Mas Frenki, sekuriti kami, menjelaskan bahwa Ibu tersebut berasal dari desa Tanjung Dalam, pinggiran Sungai Lematang. Anaknya meninggal di Bangka Belitung dan beliau tidak punya uang untuk datang ke pemakaman anaknya di sana.
Ketika membuka pintu depan, saya mendapati sosok Ibu berusia sekitar 60 tahun. Sekitar-nya itu versi saya sebenarnya. Ketika saya ajak masuk, si Ibu tidak mau. Katanya badannya kotor. Saya tanya dari mana;
"Aku mungut barang-barang bekas Nak, kasarnyo pemulung lah. Dikit dapat hari ikak.. sekarung dak sampai,"
"Dem dari jam berapo tadi Bu?"
"Mulai jam sepuluh ikak lah, tapi kan tadi ujan deras jadi berenti dulu.."
Aku masih berbasa-basi;
"Oooh, tinggal di mano Bu?"
"Tanjung Dalam, Nak,"
Pause.
"Naek apo tadi ke sini Bu?"
"Melok rombongan, Nak"
Sepertinya tidak ada alasan untuk pause lagi.
"Jadi cak mano ceritonyo Bu?"
Saya menyiapkan diri untuk tidak menangis. Sebelum si Ibu bercerita, mata saya sudah saya paksa melihat kebun sayur di sebelah kantor yang sudah ditumbuhi terong-terong ungu dan kangkung muda alih-alih melihat si Ibu.
"Aku dicegah oleh kawan-kawan aku pas nak masuk ke sini. Katonyo berani nian aku nak masuk, kagek aku ditembak satpam. Katoku biarkelah aku ditembak satpam. Tembaklah bae aku, aku nak nyusul anak aku,"
Dari getar suaranya, matanya mungkin berlinang. Saya tidak (mau) melihat.
Ia menceritakan, anaknya baru lima bulan bekerja di pabrik timah ilegal di Bangka. Gajinya besar. Pekerjaannya menyelam. Anaknya sangat bahagia bisa merantau dan mendapatkan gaji, mengingat selama ini dirinya hanya ikut sang Ibu memulung dari dusun ke dusun. Si Ibu awalnya tidak mau melepaskan, tapi anaknya bersikukuh sambil bilang: "Aku kan mau kerja Bu, bukan mau mati. Jangan nangis.."
Si Ibu lanjut bercerita.
Tadi pagi jam setengah sebelas ketika sedang memulung di sekitar Desa Pengabuan, salah seorang tetangga si Ibu mendatanginya sembari menangis terisak-isak dan menyerahkan ponsel ke tangannya. Si Ibu meraih ponsel dan mendapati kabar dari ujung telepon bahwa putranya meninggal dunia pukul delapan pagi, atau tiga jam sebelumnya. Subuh tadi sang anak sepertinya menyelam terlalu dalam. Selama lima jam tak muncul-muncul lagi. Beberapa orang yang panik menggunakan alat penyedot dan mendapati tubuh sang anak lemas penuh air. Sang anak sempat sadar selama beberapa menit dan mengatakan ingin bicara dengan ibunya. Sayang, Ibunya, yang hanya seorang pemulung, tidak memiliki ponsel. Saat para pekerja panik mencari kendaraan untuk mengangkut sang anak ke rumah sakit dan mencari tahu nomor ponsel keluarga yang bisa dihubungi, nafas sang anak sudah lenyap. Segera setelah menerima telepon, Ibu itu menangis terisak-isak di sebelah karungnya. Selama beberapa saat dirinya tak tahu mau ke mana. Sampai akhirnya ketika hujan reda, si Ibu meminta tolong pada sopir kendaraan pengangkut panci untuk diantarkan ke kompleks perkantoran kami untuk meminta bantuan dan memberanikan diri menghadap penjaga pos Main Gate dengan gemetar.
Saya juga memberanikan diri melirik ke si Ibu. Matanya nanar menerawang sembari melanjutkan cerita.
"Anakku mati Nak.. aku rasonyo pengen ditembak bae samo satpam.. dakpapo tembaklah aku kepengen ditembak.. aku nak nyusul anakku.."
Tangis si Ibu menderas. Kepalanya tetap tegak tetapi suaranya mulai bergetar, sebelum akhirnya air mata berjatuhan dan matanya memerah. Sial, kenapa saya malah menoleh, sih!
Setelah beberapa detik mendongak untuk mengontrol emosi, saya berkata pada si Ibu; "Ayo masuk, Bu. Aku kenalke dengen atasanku.."
Saya bersyukur memiliki atasan dengan empati yang begitu besar. Bapak Ery, yang biasa kami panggil Abah. Alih-alih marah karena saya mengajak seorang pemulung masuk ke ruangannya, Abah justru mengajak si Ibu duduk dan menanyakan apa yang bisa kami perbuat untuk meringankan bebannya. Permintaan si Ibu sederhana: Meminjam telepon untuk menelepon si pengabar kematian anaknya, minta diantar ke terminal dan dibelikan tiket bis untuk menuju ke Bangka.
Saya sudah tidak kuat lagi. Saya berpura-pura mengambil pulpen ke ruangan saya dan menyelesaikan satu tarikan nafas sebelum kembali lagi ke ruangan Abah. Seingat saya, saat itu Abah sedang menjelaskan bahwa untuk menuju Bangka dengan cepat, setidaknya si Ibu perlu naik pesawat, dan masih harus mengeluarkan biaya untuk kembali lagi ke PALI. Kemudian kami mengambil jalan membantu sang Ibu dengan menelepon rekan kerja anaknya dan meminta mereka mengurus pemulangan jenazah anaknya ke PALI via Palembang, dengan biaya yang akan kami bantu jika diperlukan.
Poin saya pada kejadian mengharukan hari ini adalah, betapa saya harus sangat bersyukur.
Pertama, saya merasa melakukan pekerjaan berat di area yang berat, padahal di luar sana, jutaan orang bekerja dengan mempertaruhkan nyawa, dengan pendapatan yang tak seberapa. Kedua, saya bersyukur orang tua saya masih dapat hidup dengan baik, tidak perlu melakukan pekerjaan seberat memulung dengan berjalan kaki, dan masih harus dibebani dengan berbagai biaya hidup. Ketiga, bersyukur masih diberikan kehidupan oleh Allah SWT sampai detik ini, sehingga masih bisa memastikan kedua orang tua saya dalam keadaan sebaik mungkin dan tidak perlu membuat mereka meneteskan air mata karena kehilangan buah hati yang mereka sayangi tanpa batas. Terakhir, si Ibu datang untuk membuktikan pada saya bahwa masih ada begitu banyak orang baik di dunia, mulai dari rekan kerja anaknya, tetangganya, sopir pick up Panci, sekuriti hingga atasan saya sendiri, yang membuat saya optimis dunia ini masih bisa penuh terisi kasih sayang dan empati.
Terlalu banyak hal tak terduga yang terjadi setiap hari, dan terlalu banyak makna di baliknya untuk disyukuri dan direnungi.
Jam 2 tadi, pintu ruangan saya diketuk oleh sekuriti dari Main Gate.
"Mbak, ada ibu-ibu dateng katanya mau ketemu.."
"Siapa, Mas? Mau ketemu siapa?"
"Siapa aja katanya Mbak.."
"Loh?"
Sembari menuju teras kantor, Mas Frenki, sekuriti kami, menjelaskan bahwa Ibu tersebut berasal dari desa Tanjung Dalam, pinggiran Sungai Lematang. Anaknya meninggal di Bangka Belitung dan beliau tidak punya uang untuk datang ke pemakaman anaknya di sana.
Ketika membuka pintu depan, saya mendapati sosok Ibu berusia sekitar 60 tahun. Sekitar-nya itu versi saya sebenarnya. Ketika saya ajak masuk, si Ibu tidak mau. Katanya badannya kotor. Saya tanya dari mana;
"Aku mungut barang-barang bekas Nak, kasarnyo pemulung lah. Dikit dapat hari ikak.. sekarung dak sampai,"
"Dem dari jam berapo tadi Bu?"
"Mulai jam sepuluh ikak lah, tapi kan tadi ujan deras jadi berenti dulu.."
Aku masih berbasa-basi;
"Oooh, tinggal di mano Bu?"
"Tanjung Dalam, Nak,"
Pause.
"Naek apo tadi ke sini Bu?"
"Melok rombongan, Nak"
Sepertinya tidak ada alasan untuk pause lagi.
"Jadi cak mano ceritonyo Bu?"
Saya menyiapkan diri untuk tidak menangis. Sebelum si Ibu bercerita, mata saya sudah saya paksa melihat kebun sayur di sebelah kantor yang sudah ditumbuhi terong-terong ungu dan kangkung muda alih-alih melihat si Ibu.
"Aku dicegah oleh kawan-kawan aku pas nak masuk ke sini. Katonyo berani nian aku nak masuk, kagek aku ditembak satpam. Katoku biarkelah aku ditembak satpam. Tembaklah bae aku, aku nak nyusul anak aku,"
Dari getar suaranya, matanya mungkin berlinang. Saya tidak (mau) melihat.
Ia menceritakan, anaknya baru lima bulan bekerja di pabrik timah ilegal di Bangka. Gajinya besar. Pekerjaannya menyelam. Anaknya sangat bahagia bisa merantau dan mendapatkan gaji, mengingat selama ini dirinya hanya ikut sang Ibu memulung dari dusun ke dusun. Si Ibu awalnya tidak mau melepaskan, tapi anaknya bersikukuh sambil bilang: "Aku kan mau kerja Bu, bukan mau mati. Jangan nangis.."
Si Ibu lanjut bercerita.
Tadi pagi jam setengah sebelas ketika sedang memulung di sekitar Desa Pengabuan, salah seorang tetangga si Ibu mendatanginya sembari menangis terisak-isak dan menyerahkan ponsel ke tangannya. Si Ibu meraih ponsel dan mendapati kabar dari ujung telepon bahwa putranya meninggal dunia pukul delapan pagi, atau tiga jam sebelumnya. Subuh tadi sang anak sepertinya menyelam terlalu dalam. Selama lima jam tak muncul-muncul lagi. Beberapa orang yang panik menggunakan alat penyedot dan mendapati tubuh sang anak lemas penuh air. Sang anak sempat sadar selama beberapa menit dan mengatakan ingin bicara dengan ibunya. Sayang, Ibunya, yang hanya seorang pemulung, tidak memiliki ponsel. Saat para pekerja panik mencari kendaraan untuk mengangkut sang anak ke rumah sakit dan mencari tahu nomor ponsel keluarga yang bisa dihubungi, nafas sang anak sudah lenyap. Segera setelah menerima telepon, Ibu itu menangis terisak-isak di sebelah karungnya. Selama beberapa saat dirinya tak tahu mau ke mana. Sampai akhirnya ketika hujan reda, si Ibu meminta tolong pada sopir kendaraan pengangkut panci untuk diantarkan ke kompleks perkantoran kami untuk meminta bantuan dan memberanikan diri menghadap penjaga pos Main Gate dengan gemetar.
Saya juga memberanikan diri melirik ke si Ibu. Matanya nanar menerawang sembari melanjutkan cerita.
"Anakku mati Nak.. aku rasonyo pengen ditembak bae samo satpam.. dakpapo tembaklah aku kepengen ditembak.. aku nak nyusul anakku.."
Tangis si Ibu menderas. Kepalanya tetap tegak tetapi suaranya mulai bergetar, sebelum akhirnya air mata berjatuhan dan matanya memerah. Sial, kenapa saya malah menoleh, sih!
Setelah beberapa detik mendongak untuk mengontrol emosi, saya berkata pada si Ibu; "Ayo masuk, Bu. Aku kenalke dengen atasanku.."
Saya bersyukur memiliki atasan dengan empati yang begitu besar. Bapak Ery, yang biasa kami panggil Abah. Alih-alih marah karena saya mengajak seorang pemulung masuk ke ruangannya, Abah justru mengajak si Ibu duduk dan menanyakan apa yang bisa kami perbuat untuk meringankan bebannya. Permintaan si Ibu sederhana: Meminjam telepon untuk menelepon si pengabar kematian anaknya, minta diantar ke terminal dan dibelikan tiket bis untuk menuju ke Bangka.
Saya sudah tidak kuat lagi. Saya berpura-pura mengambil pulpen ke ruangan saya dan menyelesaikan satu tarikan nafas sebelum kembali lagi ke ruangan Abah. Seingat saya, saat itu Abah sedang menjelaskan bahwa untuk menuju Bangka dengan cepat, setidaknya si Ibu perlu naik pesawat, dan masih harus mengeluarkan biaya untuk kembali lagi ke PALI. Kemudian kami mengambil jalan membantu sang Ibu dengan menelepon rekan kerja anaknya dan meminta mereka mengurus pemulangan jenazah anaknya ke PALI via Palembang, dengan biaya yang akan kami bantu jika diperlukan.
Poin saya pada kejadian mengharukan hari ini adalah, betapa saya harus sangat bersyukur.
Pertama, saya merasa melakukan pekerjaan berat di area yang berat, padahal di luar sana, jutaan orang bekerja dengan mempertaruhkan nyawa, dengan pendapatan yang tak seberapa. Kedua, saya bersyukur orang tua saya masih dapat hidup dengan baik, tidak perlu melakukan pekerjaan seberat memulung dengan berjalan kaki, dan masih harus dibebani dengan berbagai biaya hidup. Ketiga, bersyukur masih diberikan kehidupan oleh Allah SWT sampai detik ini, sehingga masih bisa memastikan kedua orang tua saya dalam keadaan sebaik mungkin dan tidak perlu membuat mereka meneteskan air mata karena kehilangan buah hati yang mereka sayangi tanpa batas. Terakhir, si Ibu datang untuk membuktikan pada saya bahwa masih ada begitu banyak orang baik di dunia, mulai dari rekan kerja anaknya, tetangganya, sopir pick up Panci, sekuriti hingga atasan saya sendiri, yang membuat saya optimis dunia ini masih bisa penuh terisi kasih sayang dan empati.
Terlalu banyak hal tak terduga yang terjadi setiap hari, dan terlalu banyak makna di baliknya untuk disyukuri dan direnungi.
Komentar