Layang-Layang Sutera
Aku tak mau menyebut ini resensi. Ini hanya luapan perasaan yang memang harus dikeluarkan setelah menyelesaikan 158 halaman buku (aku tak punya istilah yang cocok untuk jenis buku macam ini, jurnal semi-novel mungkin?) yang ditulis sahabatku, Anggi Lean Sari.
Selalu, butuh waktu yang tidak sedikit bagiku untuk menyelesaikan sebuah novel atau buku, fiksi atau non-fiksi. Entah baik atau tidak, aku punya kebiasaan menunggu waktu yang tepat, posisi yang nyaman dan mood yang baik untuk mulai membaca--dan itu tidak terjadi setiap saat. Selain itu, menyelesaikan satu bab saja bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Aku mencerna setiap kalimat sampai puas, bahkan terkadang ada dialog yang tempo dan pengucapannya jelas tergambar di kepalaku, hingga aku sering bersuara tanpa disadari untuk menyelesaikan pemahaman yang kutakutkan akan ambigu. Dan sering--bahkan hampir selalu--aku membolak balik halaman untuk mencari dialog atau kalimat yang ada hubungannya dengan halaman yang sedang kubaca.
Layang-layang Sutera. Sahabatku bilang layang-layang adalah simbol kehidupan, dan sutera adalah sebaik-baik bahan pakaian. Itu sebabnya buku yang katanya sudah beredar di Indonesia dengan sampul biru langit ini menggabungkan keduanya sebagai judul.
Aku menjadi sangat antusias karena sahabatku satu ini bisa menembus sebuah penerbit dan menyelesaikan apa yang ia sudah lakukan selama bertahun-tahun (aku bercuap-cuap pada teman dan dosen di sini meskipun sampai lebaran kuda mereka tak akan bisa mengerti dan membaca bukunya). Dan itu membuatku bangga sekaligus tercambuk, bahwa ia sudah berani memulai. Aku dan sahabat-sahabatku yang semasa SMA benar-benar idealis, selalu berbagi mimpi namun belum ada yang berani untuk segera menggebrak. Dan aku sangat paham bahwa Anggi adalah mungkin satu-satunya sahabat semasa sekolah--yang notabene terletak di kota kecil yang jika agak masuk ke timur, hidup seorang anak perempuan dipatok pada berdandan, pacaran, ngerumpi, kawin dan punya anak--yang punya mimpi-mimpi sangat besar namun selalu yakin akan setiap kemungkinannya, selalu. Tak heran jika hal-hal yang masih jauh dari targetku, sudah begitu dekat baginya.
Sudah sekitar satu bulan yang lalu Anggi mengirimkan softfile buku yang baru saja diluncurkan ini. Aku dibuat penasaran dengan beberapa spoiler yang berisikan namaku dan sahabat-sahabatku semasa SMA, namun nyaris tak punya waktu yang tepat untuk membaca sampai tuntas. Subuh ini, aku menyelesaikan semua halaman, dan aku jadi sensitif.
Aku jadi sensitif pada semua kelemahanku yang kuabaikan. Betapa aku sangat pelupa bukan hanya untuk hal-hal kecil seperti dimana letak pulpen atau kunci, namun lupa akan kenangan-kenangan kecil yang nyaris seperti harta karun jika ditemukan, dan Anggi menyimpan kenangan itu dengan baik. Betapa malasnya aku, bukan hanya untuk bangun pagi atau shalat tepat waktu, namun tidak pernah menjalankan perintahku sendiri untuk mencatat semua kejadian berharga di sekitarku. Betapa aku--walaupun sangat mencintai dan mengidolakan ibuku--tidak memiliki banyak waktu untuk kuhabiskan dengan beliau seperti aku menikmati waktu yang kuhabiskan bersama teman atau pacar. Dan buku ini membantu mengingatkan itu semua.
Terlepas dari gaya bahasa apa yang kamu suka dan kamu harapkan dari seorang penulis, pelajaran-pelajaran berharga dari Layang-Layang Sutera mengampuni segala ekspektasi dan perbedaan penikmat sastra. Kita tidak sedang membaca Shakespeare atau Pramoedya, tapi membaca kejadian sehari-hari yang ringan namun tepat sasaran. Toh tidak semua orang pernah ditinggal mati kekasih yang minum racun, atau dipenjara dan diasingkan, namun aku sangat yakin satu diantara kejadian yang dituliskan dalam Layang-Layang Sutera dapat kita temukan dengan mudahnya, dengan kita sebagai tokoh utama.
Aku tidak mau membahas bab per bab. Sudah kubilang ini bukan resensi :D Temukan sendiri pendapat dan sudut pandangmu dengan membaca Layang-Layang Sutera, Anggi Lean Sari, Time Publishing, 2011.
Sepanjang membaca, aku harus ingat untuk selalu menyiapkan tisu di atas meja kamar. Jika tidak, tetesan air asin itu akan basah di bantal atau selimut tempat tidurku. Lalu aku tertawa dan senyum-senyum sendiri, dan detik berikutnya dijatuhi air lagi dari mata kiri, lalu kanan. Dan teman sekamarku akan berpikir bahwa aku sudah gila.
Komentar