5 Hari untuk Selamanya (Bagian 1)
Entah dari mana datangnya, aku dan dua sahabat perempuanku, teman kosku semasa kuliah melakukan hal yang random (untuk standar kami bertiga): Kami yang sudah tidak bertemu selama lebih dari 4
tahun, tanpa banyak pikir memutuskan minggat ke Malaysia di
tengah-tengah pekerjaan yang begitu padat, dari tiga lokasi yang berjauhan, dan
melakukannya hanya beberapa minggu menjelang pernikahan salah satu di antara
kami.
*
Jadi, di antara sahabat kampusku yang kebanyakan laki-laki itu, aku hanya benar-benar punya sedikit sahabat perempuan. Canny dan Tika adalah dua di antaranya. Dan yang paling lengket.
Aku sangat ingat bagaimana bertemu mereka pertama kali. Agustus 2007. Aku, mahasiswa baru, baru tiba di Jogja dan belum memulai perkuliahan, akhirnya mendapatkan kos yang sangat aku suka. Namanya Wisma Kertonegaran, di daerah Deresan. Saat itu aku belum memiliki teman sama sekali kecuali Kikik (Riezky Chandra Novariez) yang sepertinya namanya sering aku sebut-sebut di blog minim pembaca ini. Di hari kedua di kos baru, setelah membereskan kamar dan sarapan, aku duduk di ruang tamu kos untuk menonton TV. Tiba-tiba seorang gadis mungil manis berkulit putih berkacamata keluar dari kamarnya dan ikut menonton TV. Kami berkenalan dan mendadak merasa senasib: sama-sama mahasiswa baru dan belum memiliki banyak teman dan ternyata dia berasal dari Sumatera juga, tepatnya Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Nama gadis Tanjung Pinang ini: Tika Sastiani. Panggilannya Tika, kami memanggilnya Ka. Kamarnya ada di lantai 1, nomor 103. Mahasiswa Sastra Arab UGM. Penggila Chelsea dan Shinee. Sungguh Kontras: Sastra - Sepakbola - K Pop. Segera kami menjadi dekat karena aku juga (masih) menggilai Liga Inggris pada waktu itu. Pada masa sebelum tugas kuliah dan pekerjaan menyerang dan membuatku tidak update lagi pada bursa transfer, match dan klasemen. Meski demikian, tetap selalu ndak nyambung setiap Tika membahas Boyband Korea.
Hari berikutnya, Tika mengenalkanku pada satu lagi mahasiswa baru di kos ini. Aku juga masih ingat bagaimana Tika memanggilnya dari lantai 1 untuk mengajak makan siang bersama. Lalu anak ini nongol dari pagar pembatas lantai 2.
Namanya Eureka Canny Putri. Panggilannya Canny. Panggilan sayang kami adalah Bu Cani. Gadis Bontang-Surabaya. Putri Jawa yang dibesarkan di Kalimantan Timur. Penghuni kamar nomor 202 yang ternyata satu lantai denganku. Mahasiswa Teknik Industri UGM. Impresi pertamaku pada Canny adalah, anak ini cantik, ramah dan sangat natural. Sama sekali tidak pernah melepaskan senyum barang sebentar. Hampir mustahil melihatnya murung atau marah, atau sekadar bete.
Sejak itu, disusun dari berbagai momen sehari-hari, selama kurun waktu 3,5 tahun, aku, Canny dan Tika menjadi seperti saudara. Setiap jam makan malam adalah our-time, di mana kami yang sama-sama tidak bisa mengendarai sepeda motor ini akan berjalan kaki ke warung-warung favorit di sekitar Kertonegaran yang kami beri nama sendiri-sendiri: Warung Kadang-kadang (karena warung ini tidak memiliki jadwal buka yang jelas), Ibu Kuburan (Secara harfiah, warungnya berada di depan kuburan), Mas Kremes, Warung Flamboyan, Burjo Palm Kuning dan--paling mewah pada masa itu, dikunjungi mungkin dua bulan sekali--Waroeng Steak and Shake Gejayan. Sirloin Tepung lima belas ribu.
Seringnya setelah keluar makan, kami akan mampir dulu di kamar Tika yang paling dekat dengan pintu utama, mengobrol ngalor ngidul tentang segala hal, menonton film, curhat, sampai benar-benar malam dan mengantuk, lalu kembali ke kamar masing-masing.
Di akhir minggu, biasanya kami akan berangkat ke laundri dan supermarket bersama-sama, hanya dengan kaos, celana rumahan dan sandal. Jika departemen store sedang diskon, kami biasanya membeli baju atau sandal yang sama. Selimut yang sama. Kalau bukan karena perbedaan wajah yang cukup mencolok, kami mungkin akan dikira kembar tiga. Dan, karena kami (pada saat itu) adalah jomblo produktif dan bahagia-alamiah, kami seringkali menghabiskan akhir pekan dengan jalan-jalan bertiga. Pada bulan-bulan berikutnya, anggota jalan-jalan bisa bertambah jadi enam atau tujuh, seiring makin ramainya Kertonegaran. Di banyak kesempatan kami berpapasan dengan anak-anak muda pacaran yang rapi dan wangi, namun sama sekali tidak merasa kami tidak bahagia karena tidak memiliki pacar. Hidup sudah lengkap dengan teman, jalan-jalan dan makan-makan.
Meski tetap saja, dalam sesi curhat malam, topik percintaan, analisis laki-laki dan saran-saran tidak profesional untuk menghadapi pedekate akan jadi pembahasan.
Suatu hari dalam percakapan random yang biasa kami lakukan, kami mencoba mereka-reka apa yang akan terjadi di masa depan.
"Lima tahun ke depan, kita gimana ya?"
"Duh nanti kerja di mana ya kita?"
"Siapa yaa yang nikah duluan?"
"Bisa nggak sih kita nanti tinggal di satu kompleks atau satu apartemen gitu? Rumahnya sebelahan"
"Jemuran sebelahan, kalo ada yang terbang nyasar tinggal teriak: Bu Canii, jemuran nyasar niih"
Dan lima tahun yang dimaksud
itu sudah dilalui. Secepat itu.
*
Saat itu kami--secara kebetulan--ditakdirkan bekerja di daerah asal. Aku bekerja di Sumatera Selatan pada bidang CSR. Tika di Batam pada institusi pendidikan tinggi. Canny di Kalimantan Timur di sektor industri. Begitu berjauhan. Dan sejak wisuda di tahun 2012, tidak pernah lagi bertemu dalam formasi lengkap. Waktu, biaya dan kesibukan lain menjadi apologi.
Sampai tiba kabar beberapa bulan lalu: Canny dilamar!
Tentu saja kami kaget.
Kami merasa kami harus segera reuni! Ada begitu banyak hal untuk dirayakan: Aku sudah tidak punya pacar, tidak berpikir tentang pacaran dan pernikahan. Tika pun demikian. Aku dan Tika juga baru saja melewati quarter-life crisis pada usia dua puluh lima, di mana kami mempertanyakan ulang tujuan hidup dan eksistensi kami, apa gunanya kami berada di dunia, dikejar tuntutan pekerjaan dan lingkungan, disempurnakan oleh kegagalan—atau keberhasilan yang tertunda--dalam menjalin hubungan.
Dan kami berhasil melaluinya dengan baik. Mengapa tidak dirayakan dengan sahabat yang membentuk hidupmu selama bertahun-tahun?
*
"Reuni
di Jogja? Atau luar negeri aja sekalian?"
"Thailand? Vietnam? Korea?"
"Malaysia gimana?"
"Bisa tuh, ada penerbangan langsung dari Palembang dan ferry dari Batam"
"Oke deal Malaysia! Tanggal?"
"Jangan mepet aku nikah tapiii"
"Minggu depan berarti?"
"Waaah aku ga mungkin bisa cuti"
"Aku masih banyak kerjaan juga"
"Kapan lagi dong? Keburu Bu Cani jadi istri orang, bukan pesta bujang lagi jadinya.."
"Minggu depan. Deal. Kalo disayang Alloh, kita akan dapet cuti"
*
Canny
sukses mendapatkan izin. Tika mendapatkannya di hari-hari terakhir. Dan aku,
seminggu kemudian, akhirnya setelah memastikan surat cuti di tangan, bergegas
ke bandara dan membeli tiket go-show. Meski rute Palembang - Kuala
Lumpur biasanya lebih murah ketimbang Palembang-Jogja, dengan aku yang terpaksa
membeli di hari yang sama, di hari Minggu, dan kursi semakin menipis, jangan tanya
harganya naik berapa kali lipat. Haha..
Komentar
jadi? bagian kedua-nya bakal di-release gak?