Sebelas Tahun yang Akan Datang, Akan Saya Nina Bobokan Anak Saya dengan Lagu-Lagu Frau
Tadi siang di kantor, saya baru tahu kalau album baru Leilani Hermiasih dan Oskar jadi dilaunch 19 Agustus 2013--penggemar macam apa saya ini. Malamnya setelah lembur sedikit, saya langsung mampir ke Twitter yang lalu menghubungkan saya ke info dari sebuah radio yang menghubungkan saya lagi ke Yes No Wave, dan saya jejingkrakan. Versi bebas unduhnya sudah ada!
Tadi sih saya memang hanya mengunduh album, tapi deg-degannya seperti sedang menunggu esai yang sedang dibaca tim juri. Saya hanya mengklik 'play in winamp' tapi antusiasmenya seperti mau dapat beasiswa ke Alberta. Yah, namanya juga penikmat garis keras.
Lalu saya jalan-jalan. Sendirian saja. Sambil memejamkan mata.
Something More seperti pintu. Sepertinya saya baru keluar dari rumah yang saya huni sejak 2008 bernama Starlit Carousel, yang pintu keluarnya berhadapan langsung dengan pintu masuk rumah tetangga yang masih sangat baru, namanya Happy Coda . Interior ruang tamu si rumah begitu berbeda, tapi saya tidak kaget. Karena di rumah sebelumnya, tiap ruangan juga sama berbedanya. Saya melompat-lompat, tapi saya tidak capek, karena selama 4 tahun ke belakang, di daftar putar yang dijuduli 'Frau', kerja saya hanya melompat-lompat aneh dari satu lagu ke lagu lain sambil menyimpan obsesi bisa main piano klasik.
Di tembang Water, laptop meredup perlahan dalam posisi stand by, lalu gelap. Water masih mengalir sampai kuping, kok. Dengan indahnya. Kamar hanya diterangi cahaya lampu yang kawin dengan tirai jendela, melahirkan garis-garis kuning lembut yang ketiduran di dinding. Mendadak saya merasa sedang jadi aktor utama dongeng-dongeng! Semacam Sleeping Beauty--biarlah, sekali-sekali--yang hampir tertidur di atas rumah pohon dikelilingi kurcaci-kurcaci baik hati.
Empat Satu ajaib. Membuat saya merasa: "Loh, kok Frau bisa bahasa Indonesia?" Tapi lalu, si "Tuan yang main kartu" membuat saya bisa ingat lagi: Lani bukan klon Regina Spektor yang dikloning via Talamus. Lani orang Indonesia kok. Dia berbahasa Indonesia dan Jawa juga, yang pernah juga wisuda dan jajan di Bonbin.
Tarian Sari sudah saya dengar duluan bulan Juni lalu di Jogja. Tapi Sari dan sang cucu yang menontonnya menari masih berputar dengan gerakan berbeda-beda di kepala saya setiap lagu ini terdengar. Dan lagi-lagi menyadarkan saya bahwa Lani orang Indonesia. Spesifiknya lagi, Jawa. Kenapa sentuhan Jawa-nya bisa unik sekali, sih?
Mr Wolf meninggalkan kesan pecah. Prak. Gedomprangan. Mengingatkan saya pada komentar adik saya ketika mendengarkan Rat and Cat: "Seperti menonton film kartun bisu musikal tapi nggak pake tivi."
Sementara Arah mengarahkan saya ke sebuah stasiun tua di dalam kartu pos, di mana saya ganti menjadi gadis dengan terusan selutut dan rambut kepang yang baru menyelesaikan curhat penuh manja dengan Tuhan, lalu duduk di kafe dekat stasiun,sembari minum teh, menanti kereta dan entah-siapa. Si entah-siapa yang kalau tidak datang pun tidak apa-apa, karena kafe dan tehnya sudah membuat saya betah.
Tuh, kan, saya melompat lagi! Suspens sangat unik. Cengkok suara Lani dan lari-larian tuts Oskar seperti mengendap dan mengintip barang sekian menit ke muka panggung Jazz, sebelum kembali lagi ke panggungnya sendiri, meninggalkan tepukan tangan riuh rendah penonton panggung sebelah. Dan, kosakata yang dipakai Lani sungguh tak terduga. Sama seperti melodi-melodinya. Sengkarut? Saya tak ingat kapan terakhir kali mendengarnya. Sama tak terduganya dengan yang sangat khas remaja, suspens, hingga Dewata yang diikatkan dalam satu lagu.
Tapi kemudian di Whispers saya jadi amnesia selama sepersekian detik: apa ini kompilasi lagu-lagu dari komposer-komposer dongeng Disney? Atau Soundtrack teater-teater di Eropa? Tapi, tadi ada Tarian Sari, kok!
Ah saya tidak tau tembang mana yang saya favoritkan di Happy Coda..
Memangnya di Starlit Carousel kamu bisa memilih, Nda?"
Oh iya, ya -.-'
Senin, 19 Agustus 2013
23:36 WIB
* Sepertinya tidur saya malam ini akan indah sekali, setelah sekian lama. Terlebih kalau dalam yang sekian lama itu, tidurmu ditemani kertas-kertas dan radiasi laptop panas.
** Lagi-lagi isinya pujian semua. Gara-gara nge-Frau semalaman, pikiran saya jadi sedang terlalu positif sehingga critique-less.
Tadi sih saya memang hanya mengunduh album, tapi deg-degannya seperti sedang menunggu esai yang sedang dibaca tim juri. Saya hanya mengklik 'play in winamp' tapi antusiasmenya seperti mau dapat beasiswa ke Alberta. Yah, namanya juga penikmat garis keras.
Lalu saya jalan-jalan. Sendirian saja. Sambil memejamkan mata.
Something More seperti pintu. Sepertinya saya baru keluar dari rumah yang saya huni sejak 2008 bernama Starlit Carousel, yang pintu keluarnya berhadapan langsung dengan pintu masuk rumah tetangga yang masih sangat baru, namanya Happy Coda . Interior ruang tamu si rumah begitu berbeda, tapi saya tidak kaget. Karena di rumah sebelumnya, tiap ruangan juga sama berbedanya. Saya melompat-lompat, tapi saya tidak capek, karena selama 4 tahun ke belakang, di daftar putar yang dijuduli 'Frau', kerja saya hanya melompat-lompat aneh dari satu lagu ke lagu lain sambil menyimpan obsesi bisa main piano klasik.
Di tembang Water, laptop meredup perlahan dalam posisi stand by, lalu gelap. Water masih mengalir sampai kuping, kok. Dengan indahnya. Kamar hanya diterangi cahaya lampu yang kawin dengan tirai jendela, melahirkan garis-garis kuning lembut yang ketiduran di dinding. Mendadak saya merasa sedang jadi aktor utama dongeng-dongeng! Semacam Sleeping Beauty--biarlah, sekali-sekali--yang hampir tertidur di atas rumah pohon dikelilingi kurcaci-kurcaci baik hati.
Empat Satu ajaib. Membuat saya merasa: "Loh, kok Frau bisa bahasa Indonesia?" Tapi lalu, si "Tuan yang main kartu" membuat saya bisa ingat lagi: Lani bukan klon Regina Spektor yang dikloning via Talamus. Lani orang Indonesia kok. Dia berbahasa Indonesia dan Jawa juga, yang pernah juga wisuda dan jajan di Bonbin.
Tarian Sari sudah saya dengar duluan bulan Juni lalu di Jogja. Tapi Sari dan sang cucu yang menontonnya menari masih berputar dengan gerakan berbeda-beda di kepala saya setiap lagu ini terdengar. Dan lagi-lagi menyadarkan saya bahwa Lani orang Indonesia. Spesifiknya lagi, Jawa. Kenapa sentuhan Jawa-nya bisa unik sekali, sih?
Mr Wolf meninggalkan kesan pecah. Prak. Gedomprangan. Mengingatkan saya pada komentar adik saya ketika mendengarkan Rat and Cat: "Seperti menonton film kartun bisu musikal tapi nggak pake tivi."
Sementara Arah mengarahkan saya ke sebuah stasiun tua di dalam kartu pos, di mana saya ganti menjadi gadis dengan terusan selutut dan rambut kepang yang baru menyelesaikan curhat penuh manja dengan Tuhan, lalu duduk di kafe dekat stasiun,sembari minum teh, menanti kereta dan entah-siapa. Si entah-siapa yang kalau tidak datang pun tidak apa-apa, karena kafe dan tehnya sudah membuat saya betah.
Tuh, kan, saya melompat lagi! Suspens sangat unik. Cengkok suara Lani dan lari-larian tuts Oskar seperti mengendap dan mengintip barang sekian menit ke muka panggung Jazz, sebelum kembali lagi ke panggungnya sendiri, meninggalkan tepukan tangan riuh rendah penonton panggung sebelah. Dan, kosakata yang dipakai Lani sungguh tak terduga. Sama seperti melodi-melodinya. Sengkarut? Saya tak ingat kapan terakhir kali mendengarnya. Sama tak terduganya dengan yang sangat khas remaja, suspens, hingga Dewata yang diikatkan dalam satu lagu.
Tapi kemudian di Whispers saya jadi amnesia selama sepersekian detik: apa ini kompilasi lagu-lagu dari komposer-komposer dongeng Disney? Atau Soundtrack teater-teater di Eropa? Tapi, tadi ada Tarian Sari, kok!
Ah saya tidak tau tembang mana yang saya favoritkan di Happy Coda..
Memangnya di Starlit Carousel kamu bisa memilih, Nda?"
Oh iya, ya -.-'
*
Efek samping yang positif selain halusinasi berlebihan dan hasrat ingin menulis yang jadi tak terkontrol adalah saya menemukan istilah--meski belum tentu sepenuhnya representatif untuk menggambarkan perasaan yang paling tepat--di mana saya merasa bahagia untuk hal-hal yang aneh, tetapi reaksi tubuh saya tak bisa ditebak: senyum sendiri sambil mengangkat bahu tinggi-tinggi atau merasa geli di dasar perut, menjalar ke dada dan seluruh tubuh, atau justru tak bisa dideskripsikan bahkan diekspresikan dengan kelima indra: tersembunyi seperti tidak ada tapi ada. Seperti ketika kita merasa gatal tapi tidak menemukan gatalnya di sebelah mana.
Biasanya untuk mengabadikan atau menyimpan sedikit perasaan aneh itu, saya akan buru-buru mencatatkannya di blog, meski lebih sering hanya berakhir sebagai draft. Sebut saja, begitu anehnya rasa bahagia saya ketika videoklip Moon River yang dibawakan Andrea Ross sampai pada bagian tertentu di mana ada beberapa orang berjalan biasa saja di pinggir sungai, meski secara keseluruhan saya lebih suka versi The Honey Trees. Atau betapa berlebihannya antusiasme saya melihat dua kucing duduk bersebelahan di depan warung mie ayam dan kebetulan melihat ke arah yang sama. Atau anehnya rasa bahagia saya ketika sekedar duduk di saung waktu mengantri sampan penyeberangan di perbatasan kabupaten. Atau rasa bahagia yang tidak menjelma jadi apa-apa selain imajinasi untuk bisa tidur bersama anak-anak saya di masa depan, dengan diiringi Mr Wolf atau Intensity, Intimately sebelum lampu kamar padam.
Biasanya untuk mengabadikan atau menyimpan sedikit perasaan aneh itu, saya akan buru-buru mencatatkannya di blog, meski lebih sering hanya berakhir sebagai draft. Sebut saja, begitu anehnya rasa bahagia saya ketika videoklip Moon River yang dibawakan Andrea Ross sampai pada bagian tertentu di mana ada beberapa orang berjalan biasa saja di pinggir sungai, meski secara keseluruhan saya lebih suka versi The Honey Trees. Atau betapa berlebihannya antusiasme saya melihat dua kucing duduk bersebelahan di depan warung mie ayam dan kebetulan melihat ke arah yang sama. Atau anehnya rasa bahagia saya ketika sekedar duduk di saung waktu mengantri sampan penyeberangan di perbatasan kabupaten. Atau rasa bahagia yang tidak menjelma jadi apa-apa selain imajinasi untuk bisa tidur bersama anak-anak saya di masa depan, dengan diiringi Mr Wolf atau Intensity, Intimately sebelum lampu kamar padam.
Akan saya sebut happy coda.
Senin, 19 Agustus 2013
23:36 WIB
* Sepertinya tidur saya malam ini akan indah sekali, setelah sekian lama. Terlebih kalau dalam yang sekian lama itu, tidurmu ditemani kertas-kertas dan radiasi laptop panas.
** Lagi-lagi isinya pujian semua. Gara-gara nge-Frau semalaman, pikiran saya jadi sedang terlalu positif sehingga critique-less.
Komentar