Sebut Saja Negeri Srunthul (Bagian 2)

2 minggu menjelang pemilihan Raja baru, Mahapatih kembali mengadakan pesta besar-besaran di lapangan terbesar di kerajaan. Semua warga diundang berjoget, bernyanyi dan mendengarkan pidato-pidato mahapatih yang disambut riuh rendah para penduduk desa. Beberapa jam kemudian, mereka pulang ke rumah masing-masing dengan membawa 1 keping mata uang Srunthul yang cukup untuk dibelanjakan sandal jepit. Mereka sangat bahagia menggenggam sekeping uang pemberian mahapatih, dan hal itu mereka kenang sepanjang masa.

Semua pegawai kerajaan tunduk pada perintah mahapatih untuk tidak memilih siapapun selain dirinya. Ratusan pegawai kerajaan sangat kuatir jika posisi mereka akan digeser bahkan dibuang jika tidak memilih mahapatih.

Para kepala suku mendatangi rumah-rumah untuk menyampaikan pada semua warga bahwa jika mereka tidak memilih mahapatih sebagai raja baru, desa mereka akan sengsara, nama mereka akan diingat sebagai pengkhianat dan mereka tidak akan pernah mendapatkan jatah roti gandum untuk warga miskin jika berani memilih calon raja lain.

Kepala suku dan suruhan mahapatih mengatakan bahwa selama ini, program roti gandum gratis dan perbaikan jalan negeri Srunthul adalah program mahapatih. Dan bahwa jika seseorang ketahuan memilih atau mendukung calon raja lain, mereka tidak akan hidup sejahtera. Kesejahteraan mereka ada di tangan mahapatih.




Para warga tidak mau ambil resiko. Mereka sudah barang tentu tidak mau kehilangan jatah roti gandum gratis setiap bulannya. Apalagi dicap sebagai pengknianat selama lima tahun ke depan.

Fulan sangat heran dengan ketakutan berlebihan dari para tetangganya, terutama yang bekerja sebagai pegawai kerajaan.

Bukankah dalam bilik pemilihan tidak ada yang bisa melihat siapa yang kita pilih?

Mengapa harus takut pada sesama manusia?

Bukankah mahapatih tidak mungkin membelah diri menjadi 100 tubuh untuk mengintip siapa yang dipilih seseorang dalam bilik pemilihan?

Fulan berjanji pada diri sendiri untuk memilih Raja Baru dengan hati jernih tanpa pengaruh siapapun. 1 keping mata uang Srunthul yang diberikan padanya tidak akan dia tukar dengan 5 tahun penderitaan dan rasa sesal.

Seperti sudah diperkirakan, keesokan paginya, bahkan sebelum ayam jantan berkokok, menara-menara di kerajaan menyuarakan kemenangan mahapatih.

Satu bulan berikutnya, pemberian titah disaksikan oleh ribuan orang dari bawah balkon utama kerajaan dengan sorak sorai dan tepuk tangan tanpa henti. Jalan-jalan dipenuhi rangkaian bunga dan lapangan utama kerajaan disterilkan dari semua kegiatan lain yang sudah direncanakan jauh sebelumnya. Pengawal-pengawal kerajaan yang bermuka masam seketika menunduk penuh senyum termanis ketika rombongan Raja baru lewat dan melambai-lambaikan tangan dari kereta kencana.


                                                                         *


4,5 tahun berlalu.

Tidak pernah ada pasar baru di kerajaan. Perumahan sederhana tidak pernah berdiri. Mungkin Raja baru ingin meningkatkan target dengan membuat perumahan-perumahan mewah saja. Penduduk miskin masih setia memakai sandal jepit yang dibeli dari sekeping uang pemberian Raja Baru 5 tahun yang lalu. Sandal yang sudah terkikis di sana sini, disambung dengan akar dan ditambal biji salak, dan tidak diganti sandal lain.

Jangankan membeli sandal, makan roti gandum dan buah segar pun aku tidak bisa.

1 dari 17 ruas jalan di negeri Srunthul yang kecil mungil mulus tanpa celah dan lubang-lubang, namun 16 lainnya berhasil membuat beberapa pedati oleng, terjebak lumpur, puluhan kuda terperosok ke lubang besar yang timbul akibat hujan, dan beberapa pengemudi keledai terpaksa menuntun keledainya yang kelelahan berjalan menghindari lubang-lubang.

Penduduk negeri Srunthul sepertinya tidak tahu bahwa program roti gandum untuk warga miskin, perbaikan jalan dan pendidikan gratis adalah titah Undang-undang kerajaan, yang pasti akan dilaksanakan siapapun raja dan patihnya. Penduduk negeri Srunthul sepertinya tidak paham bahwa keping-keping mata uang Srunthul yang dihambur-hamburkan oleh mahapatih 5 tahun yang lalu adalah uang mereka. Uang pajak yang mereka setorkan sendiri, uang yang memang sudah seharusnya diberikan kepada mereka dalam bentuk pembangunan dan kesejahteraan, bukan diberikan dengan cara dihambur-hamburkan di jalanan untuk dipungut dengan membungkuk.

Penduduk negeri Srunthul sepertinya tidak ingat ada Tuhan. Penduduk negeri itu lupa, bahwa rejeki bukan dibuka oleh Raja atau Patih atau para Menteri, dan bukan ditutup oleh ancaman dan larangan Raja atau Patih atau para Menteri.

Penduduk negeri Srunthul kecewa, sedih dan marah karena tidak ada perubahan yang mereka rasakan. Beberapa mulai mencaci maki mahapatih yang kini sudah menjadi raja di belakangnya. Mengatakan menyesal telah memilih mahapatih dan satu per satu menguak ancaman-ancaman yang dilakukan para kepala suku dan suruhan mahapatih sebelum pemilihan berlangsung 4,5 tahun yang lalu.



*


3 bulan menjelang pemilihan Raja baru untuk kedua kalinya, mahapatih kembali mencalonkan diri dan kembali mengadakan pesta. Kembali berpidato di acara-acara keagamaan dan pesta-pesta pernikahan. Kembali menangis di hadapan ibu-ibu, menguarkan pesona lewat senyuman yang terkenal hingga penjuru negeri, dan kembali menebar kepingan-kepingan mata uang Srunthul.

Dan?

Rakyat kembali bahagia!

Rakyat amnesia!

Rakyat tidak terlalu ingat penderitaan 5 tahun mereka. Mungkin malah tidak ingat sama sekali. Sandal jepit usang sudah berganti menjadi sandal jepit baru dari sang Raja yang dibeli dari mata uang Srunthul sebelum hari pemilihan.

Rakyat tidak ingat ulat dalam roti gandum mereka, yang mereka ingat adalah makanan gratis selama 3 bulan terakhir. Pesta-pesta diadakan tiap minggu, penghibur-penghibur dari negeri seberang datang silih berganti, jalan-jalan berlubang ditambal dan kepingan uang Srunthul bertebaran di lapangan kerajaan.

Tanpa ragu, rakyat kembali memilih sang mahapatih..



(Tamat?)















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Devil Spends Korean Won!

My Rareness Has A Name: Kosmemophobia!

"Perkenalkan, Saya Tante Fatimah."

Arsip #3 - Bicara Musik Indie: Tentang Counter-Culture Kapitalisasi Seni

Ibuku?