Brebes Mili Pasca Wisuda

Sempat lihat foto orang-orang yang nangis pas wisuda di sebuah situs jejaring sosial. Mungkin saking bahagianya, atau saking sedihnya. Dulu--dulu nih--agak heran dengan yang nangis karena sedih, soalnya nggak ngerasa sama sekali bahwa wisuda itu menyedihkan, atau lulus itu menyedihkan. Lulus itu membahagiakan! Secara proses mendapatkannya semacam kombinasi antara niat, kerajinan, kenekatan, keberanian ngajak dosen diskusi, intensitas ke perpus, cambukan liat temen-temen yang wisuda duluan, dosen pembimbing dan faktor luck--ada loh temen yang sidangnya ditunda setahun atau ditinggal dosen ke luar negeri sampe 3 kali! Dan rasanya lolos dari proses itu kayak naik paus akrobatik sambil minum cappucino sachet-an. *apa sih*




Kenyataannya, dulu--dulu loh ya--perpisahan SMP atau SMA jauh lebih menyedihkan dan penuh tangisan di sana sini. Aneh juga. Padahal waktu lulus SMP, nantinya juga bakal masuk ke SMA yang 75% isinya lu lagi lu lagi. Waktu lulus SMA juga, biarpun sudah nggak karuan ada di mana, tiap 2 kali setahun (atau sekali setahun lah pas lebaran) juga bakal reunian. Pas mudik juga bisa ketemu kapan aja, waktu belanja ke pasar atau papasan nggak sengaja di warung bakso. Kalau sudah lulus kuliah? Kerja? Nikah?

Mungkin wisuda juga jadi nggak terasa menyedihkan karena habis wisuda kebanyakan belum akan total cabut dari dunia sekitar kampus. Aku misalnya, masih nyari kerja sana sini 2 bulan pasca wisuda dan ngurus-ngurusin kos-kosan dan verifikasi kuliah adekku di kampus yang sama, sambil masih maen sana sini keliling Jogja. Sebagian besar teman kuliah masih tinggal di kos yang sama sambil jobseeking atau ngurus S2. Beberapa cuma geser posisi dikit dari kampus ke daerah Pogung atau Karang Asem buat bikin usaha kecil-kecilan. Beberapa yang lain malah masih terus nongol di kampus, bedanya tanpa jadwal kuliah dan nggak perlu pakai kemeja.

Wisuda bukan farewell ceremony semacam perpisahan, meski namanya wis-sudah. Wisuda jadi pembenaran untuk besoknya bisa foto-foto, jalan-jalan, makan-makan dan karokean bareng seharian penuh meski selama kuliah juga sering begituan. Wisuda jadi momen di mana pertanyaan-pertanyaan semacam 'mau ke mana habis ini?' jadi lelucon. Dan aku nggak lihat sisi menyedihkan dari prosesi itu. Ada rasa haru memang, bentuknya kebanggaan dan kebahagiaan membanggakan orang tua, tapi bukan kesedihan, dan nggak ada tangisan. Paling banter nanti jadi galau (dalam perspektif alay) karena nggak bisa lagi dapet keistimewaan ala mahasiswa, misalnya ikut kompetisi menulis mahasiswa (sekalinya ikut lagi sudah masuk kategori umum yang isinya penulis beneran semua) atau diskon pelajar di Asagaya. 

Rasa sedih itu datangnya justru beberapa bulan setelah wisuda. Untukku, sekarang, 8 bulan kemudian, ketika kebangun untuk terpaksa ngerjain tugas kantor jam 2.30 dini hari dan sesekali ketiduran di atas laptop. Seketika jadi de javu. Ini kan rutinitas kuliah brai! Ngerjain tugas selalu di atas jam 12 malem, non stop ngetik dengan sandaran bantal dan guling dan laptop di pangkuan, sambil putar playlist yang itu-itu aja, lalu panik pas sudah adzan subuh. Bedanya sekarang aku di pulau yang lain, dengan status yang berbeda dan rutinitas yang nggak lagi sama. Beberapa jam kemudian waktu ngecek situs jejaring sosial dan ngeliat foto gerbang 2 Milyar-nya UGM, seketika brebes mili.

Oke, mungkin kenangan terdominan dari gerbang itu hanyalah waktu demonstrasi pendirian Hotel UGM, tapi jalan masuk itu adalah yang tiap hari aku lewati, bahkan bisa 7-8 kali sehari kalau lagi ada event di kampus atau sekedar numpang lewat ke Jalan Kaliurang via Foodcourt. Di ujung jalan ada Perpus yang juga tiap hari didatangi semasa penyelesaian skripsi. Ke timur ada kampusku yang saking seringnya didatangi sampai-sampai hapal ada keropos di dinding dekat mushola atau cornblock yang lebih tinggi dari cornblock sebelahnya di depan Front Office. Bukan hal-hal besar kok yang bikin kangen, justru rutinitas sepele yang dilakukan tiap hari itulah yang membrebes-milikan mataku. Aku nggak akan punya Kipem lagi, dan nggak tinggal lagi di Jogja dan kenyataan itu menyakitkan. Meski baru terasa menyakitkan pagi ini.

Ketika SMP-SMA, kita sedih karena berpikir akan berpisah. Ketika wisuda, kita baru akan merasakan kesedihan ketika sudah jelas-jelas berpisah. Plus, seperti kebanyakan manusia, secara alamiah kita tidak pernah puas. Bosan, jengah dan muak dengan kuliah ketika masih kuliah, dan kangen setengah mati pengin balik ke kampus ketika sudah kerja. Atau menyesal karena tidak sempat sepuas-puasnya menikmati status mahasiswa. Serius, rasanya menyedihkan.

Cuma aku yang merasa begitu atau semua sama, ya?




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Devil Spends Korean Won!

My Rareness Has A Name: Kosmemophobia!

"Perkenalkan, Saya Tante Fatimah."

Arsip #3 - Bicara Musik Indie: Tentang Counter-Culture Kapitalisasi Seni

Ibuku?