Selo dan K-Seleo

Selo (senggang, Red) sekali hari ini.

Kaki kiri masih pegal sekali gara-gara nyoba kondangan pakai wedges sebelas senti. Sesaat jumawa karena berasa tinggi sekali--lebih tinggi dari mempelai pria yang hajatannya aku datangi. Tapi efek buruk dari high heels atau wedges adalah kejumawaan yang terjun bebas ketika masuk kamar dan lepas sepatu lalu bercermin dan mendapati aku sudah kembali ke dunia nyata. Haha, wanita..

Beberapa menit yang lalu aku merebahkan diri dan berpikir ini adalah pertama kalinya aku memakai wedges, terlebih lagi tadi sempat keseleo, wajar jika pegal-pegal. Tapi tak lama aku baru teringat pada sebuah wedges abu-abu tua yang kubeli di salah satu underground market di Daejeon. Yaaa ternyata itulah wedges pertamaku! Hal yang masih aku ingat betul adalah shopping bersama Alyona, Urfi, Assel dan Anna berakhir dengan pandang-memandang hasil belanjaan di kamar, dan dilanjutkan dengan fitting sekaligus make over dengan semua dress dan make up kit Alyona dan Urfi. Lalu menyadari bahwa aku ternyata naksir heels hitam Alyona sementara Alyona cinta berat dengan wedges abu-abuku. Sayangnya ukuran kaki kami berbeda sehingga niat barter harus diurungkan :(

Ternyata mengingat hal-hal yang pertama kali dilakukan itu menarik sekali, setidaknya untuk orang yang sedang selo dan K-Seleo seperti aku saat ini. Seperti menemukan barang hilang yang sudah lama dicari-cari dan, voila, ketemu! Sayangnya tidak semua kenangan, maaf, maksudnya tidak mungkin semua kenangan masih dapat diingat dengan baik. Setidaknya aku bangga pada momen 'pertama kali' yang masih aku ingat persis: pertama kalinya aku bisa mengucapkan huruf R. Aku adalah anak cadel yang masih cadel sampai masuk TK Nol Besar (dan masih cadel juga sampai saat ini). Tiba-tiba, tepatnya sehabis sarapan pagi dan sembari menunggu papa mengantarkanku ke sekolah, tepat di ambang pintu rumah, aku mencetuskan huruf R iseng-iseng dan langsung bisa! Girang bukan main. Sepanjang hari aku memamerkan keahlian baruku pada teman-teman satu kelas, haha.

Momen 'Pertama Kali' lain yang masih aku ingat adalah pertama kalinya aku bohong di depan mama papa. Waktu itu kami sedang pulang dari hajatan keluarga, hari sudah agak malam. Ketika sudah sampai di depan rumah aku pura-pura ketiduran. Akhirnya aku digendong sampai ke kamar dan itulah tujuannya, minta digendong. Bisa dimaafkan lah, anak kecil, kok.

Namun rasa-rasanya, yang paling banyak aku ingat adalah momen 'pertama kali' ketika menjadi penerima Global Scholarship Program. Saking banyaknya sampai bingung mau menuliskan yang mana, hahaha..

1. Pertama kali naik pesawat lebih dari dua jam.
2. Pertama kali pipis di pesawat (no? oh yeah sebelumnya aku selalu pilih pipis di airport saja).
3. Pertama kali pegang tiga mata uang dalam satu dompet.
4. Pertama kali pesan makanan di pesawat.
5. Pertama kali liat pramugara. Haha
6. Pertama kali (ter)makan babi.
7. Pertama kali liat (dan megang) salju.
8. Pertama kali pakai boots dan long coat.
9. Pertama kali pakai wedges!
10. Pertama kali punya sahabat dari begitu banyak negara. Sahabat asing terakhirku dari Brunei Darussalam dan Thailand, dan sudah lama hilang kontak.
11. Pertama kali belajar menulis dan membaca sistem huruf non-latin
12. Pertama kali mataku (dipaksa) tersentuh maskara, sungguh aneh rasanya.
13. Pertama kali nge-mall jam 2 pagi, haha!

Lalu aku menyadari, bahwa sebenarnya hidup manusia tersusun dari jutaan 'pertama kali'. Pertama kali berjalan, pertama kali makan wortel, pertama kali menyalakan korek api, pertama kali mengirimkan kartu pos, pertama kali tersandung dan luka, pertama kali jatuh cinta, pertama kali bernafas ketika keluar dari rahim Ibu. Tak akan terhitung jumlahnya.

Orang tua akan senang bukan kepalang ketika anaknya pertama kali mengucapkan kata 'mama' atau 'papa', atau ketika pertama kali anaknya menyentuh rumput. Momen-momen 'pertama-kali' ini terasa begitu berharga, karena ia tak akan pernah bisa terulang lagi sebagai yang pertama. Hanya saja, karena begitu seringnya dirasakan, semua 'pertama kali' akan hilang begitu saja.

Dan saat ini aku merasa kehilangan, sekaligus kesal. Mengapa memori manusia tidak bisa menampung semua kenangan, mengapa hanya kenangan-kenangan tertentu yang terseleksi dan dapat diingat kembali. Mengapa kenangan buruk lebih melekat lama ketimbang kenangan bahagia sehari-hari. Mengapa sulit menghimpun semua memori, sedangkan sesungguhnya mereka adalah bagian dari tubuh dan pikiran kita.

Mengapa tidak diciptakan pensieve saja sehingga kenangan dapat ditarik keluar dari kepala, tersimpan dan terkategorikan sesuai momennya, lalu dapat dibuka kapan saja seperti arsip film-film tua.

Lalu aku sadar. Sesuatu tidak akan menjadi harta karun ketika jumlahnya banyak tak terhingga. Ia menjadi harta karena langka, tidak dimiliki semua orang, dan tidak berceceran di mana-mana.

Kenangan adalah harta. Sebab itu jika ia masih ada, rekompilasikanlah sebisanya. Dan karena kenangan begitu berharga, berhati-hatilah dalam menggoreskannya. Berusahalah sekuatnya untuk tidak menggores keburukan, karena niscaya ia akan melekat lebih lama dan membekas lebih dalam. Biarkan goresan pahit dihadiahkan oleh hidup saja, bukan oleh tangan kita.

Goreskan saja keindahan, kegembiraan dan kemanfaatan.

Dan rawat saja agar dapat sering-sering kita nikmati kembali di kemudian hari.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Devil Spends Korean Won!

My Rareness Has A Name: Kosmemophobia!

"Perkenalkan, Saya Tante Fatimah."

Arsip #3 - Bicara Musik Indie: Tentang Counter-Culture Kapitalisasi Seni

Ibuku?