Anak Gadis Idaman Mertua
Minggu, 15 Mei 2011
Sungguh judul yang konyol! Haha
Hari ini kami benar-benar terlihat seperti anak gadis gigih dan manis-manis yang diidamkan para calon mertua. Sebab musababnya adalah kami berjuang dengan setulus hati dan sekuat tenaga untuk mengikuti kelas memasak yang diadakan di Daejeon Downtown. Dan berhasil.
Informasi mengenai kelas memasak ini awalnya didapatkan Anna (Satriyani) dari laman Facebook Daejeon. Kami yang awalnya begitu bersemangat menjadi begitu kecewa karena kelas masak tersebut telah penuh. Beberapa hari kemarin, aku iseng membuka kembali laman yang dirujuk Anna, dan iseng bertanya apakah kelas tersebut benar-benar sudah tidak membuka peluang lagi untuk siswa baru. Dan jawabannya? Masih bisa!
Aku segera mengetuk pintu kamar Anna dan menyampaikan kabar gembira itu. Chang Li, yang juga sejak awal sangat ingin mengikuti kelas, ikut heboh mempersiapkan diri. Permasalahan berikutnya adalah, kelas itu berlangsung hampir bersamaan dengan kelas Bahasa Korea kami. Kami harus memutar otak.
Saat hari H berlangsung, kami agak kurang berkonsentrasi ke huruf-huruf Hangeul yang tertulis di papan. Pikiran kami melayang ke Ttokbokki dan sup Kimchi dan dapur yang memanjang seperti kompetisi memasak di televisi. Dan melayang ke bagaimana cara mencapai Daejeon Downtown dalam waktu sesingkat-singkatnya. Kami bahkan tidak tahu apakah hal ini masuk akal untuk dilakukan.
Bel berbunyi, aku, Anna dan Chang Li berlari menuju halte bus terdekat, mengabaikan teman-teman sekelas lain yang bertanya: kenapa buru-buru amat, sih?
Setelah agak berkejaran dengan bus, baru saja menarik nafas lega, kami sudah harus turun di stasiun dan meneruskan dengan kereta ke Daejeon Yok. Dan untuk menjawab apakah masuk akal menjangkau Chungnam National University ke Daejeon Downtown dalam waktu sesingkat itu, aku mendapatkan jawabannya dari peristiwa malam ini: Sistem transportasi di negara ini, untungnya, sudah terintegrasi satu sama lain, sehingga jika kita mendapatkan satu transportasi dengan tepat waktu, sudah dapat dipastikan kita akan mendapatkan jadwal untuk transportasi lanjutan lainnya, dalam hal ini kereta bawah tanah--kecuali kalau dalam perjalanan dari halte ke stasiun, kamu mampir dulu ke toko es krim atau warung cemilan. Dan semua moda transportasi publik selalu tepat waktu. Tidak ada alasan kamu tidak bisa merencanakan dan menjalankan perjanalan dengan baik dan akurat.
Sesampainya di kereta, perjuangan belum berakhir. Kelas dimulai pukul 8 malam, sementara ketika kereta berhenti di stasiun Daejeon Downtown, waktu sudah menunjukkan pukul 8 kurang 15 menit! Kami masih harus berlari ke lokasi kelas memasak, yang terlalu jauh untuk kami tempuh dengan berjalan kaki namun masih sangat dekat untuk dijangkau dengan kendaraan atau taksi sehingga tidak ada taksi yang mau mengantar. Maka? Kami berlari seperti tidak kehabisan tenaga. Sungguh bersyukur pada nutrisi yang baik yang kami peroleh selama hidup di sini, sehingga kami memiliki tenaga berlipat ganda. Haha
Apakah kami berhasil?
Sebagai anak gadis idaman calon mertua, tentu saja iya.
Kami bertiga masuk ke kelas tepat ketika semua siswa baru saja memakai apron mereka dan menempati meja masing-masing. Semua siswa--yang rata-rata adalah mahasiswa non-Korea--menoleh bersamaan ke arah kami yang ribut-ribut di depan pintu, sibuk melepas sepatu dan mengambil apron masing-masing.
Hal yang ingin aku puji dari kelas ini, dan dari Daejeon sebagai kota pelajar secara keseluruhan, adalah betapa sistem sangat mendukung kenyamanan semua pihak khususnya mahasiswa internasional seperti kami, untuk tidak hanya dapat belajar di kampus, namun juga merasakan pengalaman kultural yang mampu membentuk rasa memiliki terhadap Daejeon dan Korea secara keseluruhan. Kelas memasak ini hanyalah salah satu dari sekian banyak pintu masuk yang mereka bukakan. Satu saat aku akan menceritakan juga klub musik, makan malam persahabatan, kompetisi dan pameran yang berlangsung sepanjang tahun.
Dan begitulah, kelas berlangsung seperti tidak terasa. Pelajaran pertama kami adalah membuat Bubur Octopus khas Korea, Nakji-Juk (maafkan jika aku salah, seperti biasa sungguh sulit mengingat nama-nama Korea). Sejujurnya, aku paling tidak tega dan tidak berani mengeksekusi hewan laut (atau semua hewan?) dalam dunia permasakan, seperti membersihkan sisik ikan atau memotong kepala dan tentakel. Terlebih jika si hewan masih memiliki mata. Aku merasa seperti pembunuh yang melakukan mutilasi. Tapi aku lakukan juga, karena sungguh tidak mudah bisa mengikuti kelas ini, tidak boleh aku kacaukan karena takut menatap mata Octopus.
Terakhir, aku yang suka nyeleneh mengurangi kadar airnya tanpa sepengetahuan Sonsengnim agar si bubur tidak terlalu lembek. Haha. Ini sama sekali tidak mengurangi enaknya si bubur sehat, dan kupikir aku sudah bisa mempraktekkannya di kos mbak Dewi minggu depan.
Oh, selain mendapatkan ilmu memasak makanan Korea secara langsung, aku, Anna dan Chang Li juga mendapatkan beberapa teman baru, mayoritas dari Turki (ya ampun, sungguh Allah maha baik pada perempuan-perempuan Turki, semuanya begitu cantik dan bersahabat) dan mendapatkan pengalaman menyenangkan berkeliling Downtown di malam larut. Sungguh tenang, indah dan siap diberi label "kenangan" beberapa saat lagi.
Sungguh judul yang konyol! Haha
Hari ini kami benar-benar terlihat seperti anak gadis gigih dan manis-manis yang diidamkan para calon mertua. Sebab musababnya adalah kami berjuang dengan setulus hati dan sekuat tenaga untuk mengikuti kelas memasak yang diadakan di Daejeon Downtown. Dan berhasil.
Informasi mengenai kelas memasak ini awalnya didapatkan Anna (Satriyani) dari laman Facebook Daejeon. Kami yang awalnya begitu bersemangat menjadi begitu kecewa karena kelas masak tersebut telah penuh. Beberapa hari kemarin, aku iseng membuka kembali laman yang dirujuk Anna, dan iseng bertanya apakah kelas tersebut benar-benar sudah tidak membuka peluang lagi untuk siswa baru. Dan jawabannya? Masih bisa!
Aku segera mengetuk pintu kamar Anna dan menyampaikan kabar gembira itu. Chang Li, yang juga sejak awal sangat ingin mengikuti kelas, ikut heboh mempersiapkan diri. Permasalahan berikutnya adalah, kelas itu berlangsung hampir bersamaan dengan kelas Bahasa Korea kami. Kami harus memutar otak.
Saat hari H berlangsung, kami agak kurang berkonsentrasi ke huruf-huruf Hangeul yang tertulis di papan. Pikiran kami melayang ke Ttokbokki dan sup Kimchi dan dapur yang memanjang seperti kompetisi memasak di televisi. Dan melayang ke bagaimana cara mencapai Daejeon Downtown dalam waktu sesingkat-singkatnya. Kami bahkan tidak tahu apakah hal ini masuk akal untuk dilakukan.
Setelah agak berkejaran dengan bus, baru saja menarik nafas lega, kami sudah harus turun di stasiun dan meneruskan dengan kereta ke Daejeon Yok. Dan untuk menjawab apakah masuk akal menjangkau Chungnam National University ke Daejeon Downtown dalam waktu sesingkat itu, aku mendapatkan jawabannya dari peristiwa malam ini: Sistem transportasi di negara ini, untungnya, sudah terintegrasi satu sama lain, sehingga jika kita mendapatkan satu transportasi dengan tepat waktu, sudah dapat dipastikan kita akan mendapatkan jadwal untuk transportasi lanjutan lainnya, dalam hal ini kereta bawah tanah--kecuali kalau dalam perjalanan dari halte ke stasiun, kamu mampir dulu ke toko es krim atau warung cemilan. Dan semua moda transportasi publik selalu tepat waktu. Tidak ada alasan kamu tidak bisa merencanakan dan menjalankan perjanalan dengan baik dan akurat.
Sesampainya di kereta, perjuangan belum berakhir. Kelas dimulai pukul 8 malam, sementara ketika kereta berhenti di stasiun Daejeon Downtown, waktu sudah menunjukkan pukul 8 kurang 15 menit! Kami masih harus berlari ke lokasi kelas memasak, yang terlalu jauh untuk kami tempuh dengan berjalan kaki namun masih sangat dekat untuk dijangkau dengan kendaraan atau taksi sehingga tidak ada taksi yang mau mengantar. Maka? Kami berlari seperti tidak kehabisan tenaga. Sungguh bersyukur pada nutrisi yang baik yang kami peroleh selama hidup di sini, sehingga kami memiliki tenaga berlipat ganda. Haha
Apakah kami berhasil?
Sebagai anak gadis idaman calon mertua, tentu saja iya.
Kami bertiga masuk ke kelas tepat ketika semua siswa baru saja memakai apron mereka dan menempati meja masing-masing. Semua siswa--yang rata-rata adalah mahasiswa non-Korea--menoleh bersamaan ke arah kami yang ribut-ribut di depan pintu, sibuk melepas sepatu dan mengambil apron masing-masing.
Hal yang ingin aku puji dari kelas ini, dan dari Daejeon sebagai kota pelajar secara keseluruhan, adalah betapa sistem sangat mendukung kenyamanan semua pihak khususnya mahasiswa internasional seperti kami, untuk tidak hanya dapat belajar di kampus, namun juga merasakan pengalaman kultural yang mampu membentuk rasa memiliki terhadap Daejeon dan Korea secara keseluruhan. Kelas memasak ini hanyalah salah satu dari sekian banyak pintu masuk yang mereka bukakan. Satu saat aku akan menceritakan juga klub musik, makan malam persahabatan, kompetisi dan pameran yang berlangsung sepanjang tahun.

Terakhir, aku yang suka nyeleneh mengurangi kadar airnya tanpa sepengetahuan Sonsengnim agar si bubur tidak terlalu lembek. Haha. Ini sama sekali tidak mengurangi enaknya si bubur sehat, dan kupikir aku sudah bisa mempraktekkannya di kos mbak Dewi minggu depan.
Oh, selain mendapatkan ilmu memasak makanan Korea secara langsung, aku, Anna dan Chang Li juga mendapatkan beberapa teman baru, mayoritas dari Turki (ya ampun, sungguh Allah maha baik pada perempuan-perempuan Turki, semuanya begitu cantik dan bersahabat) dan mendapatkan pengalaman menyenangkan berkeliling Downtown di malam larut. Sungguh tenang, indah dan siap diberi label "kenangan" beberapa saat lagi.
![]() |
Aku dan Chang Li yang secara narsis menikmati hasil masakan sendiri. |
Komentar