Indonesian Bokembap, Indonesian Bokembap!


Mendadak pengen nasi goreng.. *ngeces*

Cerita ini tidak tau mau dimulai dari mana. Awalnya sedang googling-gooling biasa, sebelum tiba-tiba terpikir bahwa orang Indonesia kok sepertinya nggak pedean. Tema nggak pedean-nya kali ini tentang makanan.

Indonesia itu surga makanan! Surga wisata kuliner, surga rempah-rempah, surga bumbu masakan, surga tukang masak, surga tukang makan *tunjuk diri sendiri. Indonesia memiliki 5300 lebih resep asli tradisional dari Sabang sampai Merauke yang tercatat oleh pemerintah. Begitu kayanya sampai-sampai kita akan sulit menyebutkan apa makanan tradisional Indonesia. Tidak seperti Italia yang punya Pizza dan Pasta, Jepang dengan Ramen dan Sushi atau Korea dengan Kimbap dan Kimchi. Makanan tradisional Indonesia? Semua daerah, semua provinsi punya, dalam jumlah yang sangat banyak, beragam dan sangat jauh berbeda satu dengan yang lainnya.

Sayangnya, orang Indonesia tidak menggunakan nama asli makanan ketika membawanya ke level internasional.

Maksudnya?

Korea sangat bangga menyebut asinan fermentasi sawi, lobak dan kolnya sebagai Kimchi. Kita sebagai orang luar Korea, lebih mengenal kata Kimchi ketimbang terjemahannya *Saya pun tidak tahu bagaimana Kimchi diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Ramen dan Sushi tidak dikenal di luar negeri sebagai Japanese Noodle atau Raw Fish with Rice. Mereka menyebutkannya sesuai nama aslinya.

Ketika berada di negara lain, saya melihat perbedaan yang dilakukan orang Indonesia terhadap kulinernya yang super kaya. Mereka menerjemahkannya!

Di sebuah rumah makan Indonesia di Korea, saya melihat Gado-gado tidak disebut Gado-gado melainkan Raw Vegetable Salad with Peanut Dressing. Ketika mengikuti pameran kuliner internasional di KAIST, salah satu kampus teman saya di Daejeon, Bakso disebut Indonesian Meatball.

Apa yang mengecewakan?

Saya menangkap kesan orang Indonesia lebih bangga meng-Inggris-kan nama menu masakan ketimbang menyodorkan nama asli masakan tersebut, yang mungkin sebenarnya penuh filosofi atau kearifan lokal tertentu. Seakan-akan kita takut orang tidak mengerti makanan apa yang sedang mereka pilih. Ketika sebuah menu diterjemahkan, orang yang membaca atau melihat namanya akan secara otomatis memadankan makanan tersebut dengan jenis makanan yang sudah pernah mereka ketahui sebelumnya, karena kita sendiri yang mengarahkan mereka ke sana. Dan hasilnya adalah, "Oh, that's the meatball in Indonesian spice. I better try another more exclusive-traditional dishes, then" 

Ketika tiba waktunya saya dan beberapa teman menjalankan booth kuliner Indonesia dalam festival makanan internasional di kota Daejeon, kami berbagi tugas. Saya dan salah seorang rekan bertugas memasak, sedangkan rekan yang lain mempersiapkan booth dan semua sarana promosi. Ternyata, rekan kami kembali melakukan kebiasaan yang sudah saya curigai: menerjemahkan nama masakan. Sehingga tumpeng dituliskan sebagai "노랑밥 atau Indonesian Norang-Bap atau Nasi Kuning Indonesia secara harfiah, sedangkan nasi goreng dituliskan sebagai Indonesian Bokem-Bap. Pada hari persiapan, panitia pameran juga ikut menyebutkan dan mempromosikan kuliner booth kami dengan penamaan yang dituliskan tersebut.

"Indonesian Bokembap, Indonesian Bokembap! Nooomu massisso-yo."

Orang-orang berlalu.

Apa bedanya dengan Korean Bokem-Bap atau nasi goreng Korea yang sudah mereka makan setiap hari?

Hari berikutnya, di Yu Seong Gu, kami melakukan strategi berbeda. Kami benar-benar menyebutkan dan menuliskan nama asli makanan yang kami masak kepada para pengunjung: Tumpeng, Nasi Goreng, Sate dan Indomie. Huruf per huruf dalam kertas promosi. Sembari memasak di bagian dalam booth Indonesia, saya meneriakkan nama-nama masakan kepada para pengunjung. Hasilnya? Pengunjung penasaran!

Booth kami sungguh ramai sampai-sampai kami baru bisa tutup jam 9 malam dan harus menyetok Indomie beberapa kardus lagi dari World Mart terdekat.

Tahun 2011 ini, rendang dinobatkan sebagai makanan terlezat di dunia versi CNN. Nasi goreng masuk ke dalam lima besarnya. Saya sangaaat bersyukur dalam penobatan itu Rendang disebut Rendang, bukan Spicy Indonesian Beef Slice.

Jadi, andai saya bisa memberikan saran pada Kementerian Pariwisata atau semua penggerak promosi kuliner Indonesia, saya ingin bilang: Pede saja dong, menggunakan nama asli Indonesia. Biarkan kemudian wisatawan atau orang asing penasaran dan menjadi semakin ingin tahu apa sebenarnya Bakso, Sate, Nasi Goreng, Rendang, Soto, Papeda, Se'i atau Pempek itu. Lebih daripada itu, meski hanya masalah nomenklatur, hal kecil, namun kepercayaan diri dalam menggunakan keaslian Indonesia dapat terlatih dari sini. Jadi, kebanggaan tidak hanya diterapkan dalam penggunaan produk-produk Indonesia *Iklan Maspion*, namun juga pada penggunaan bahasa Indonesia dan nama-nama khusus Indonesia ketika mempromosikannya kepada dunia.

Ya ngomongnya tetep bahasa Inggris lah. Nama makanannya atuh yang di-asli-kan.


International Hot Food Festival di Yu Seong Gu, 19-21 Mei 2011

Para Pencicip Masakan Indonesia


At KAIST Food Festival: Indonesian Meatball and Indonesian Bokem-Bap (Eh) 

Muka-muka Lethek Tukang Masak dan Tukang Tereak-tereak Dagang Makanan

Meski rasanya entah bagemana, pengunjung senang, hati tenang.


Percaya kan, ndak cuma dagangan laris, didatengin pengunjung tsakep juga (Eh)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Devil Spends Korean Won!

My Rareness Has A Name: Kosmemophobia!

"Perkenalkan, Saya Tante Fatimah."

Arsip #3 - Bicara Musik Indie: Tentang Counter-Culture Kapitalisasi Seni

Ibuku?