Keracunan yang Bikin Kecanduan




Ketika hentakan intro yang familiar itu dimulai, penonton serentak bangkit dan berjingkrakan di depan panggung pendek itu. Mars Penyembah Berhala benar-benar pembius! Kali ini tak hanya Ugo dan kawan-kawan yang kesurupan, namun seisi Langgeng. Lirik demi lirik meluncur deras seperti terbiasa diucapkan setiap hari. Saya yang duduk lesehan di atas rumput di deret paling belakang taman kecil terbuka di Langgeng Art, yang sepanjang sesi pertama dan kedua menikmati dengan manis lagu-lagu yang saya sudah hapal betul liriknya, di sesi akhir ini seperti tertarik gravitasi kuat untuk melonjak berdiri,  dan sejurus kemudian tak sadar sudah berjingkrak-jingkrak di tengah kerumunan.

Puas.

Puas sekali, antusias, meletup-letup sekaligus merasa kehilangan. Se-gado-gado itulah perasaan yang terlintas setelah hadir langsung di Langgeng Art Foundation 27 Juli lalu, menyaksikan sekumpulan seniman yang sedang bermusik yang menamai diri mereka Melancholic Bitch. Sebabnya, ini adalah sebuah konser perpisahan. Entah kapan saya bisa melihat lagi mereka mempertontonkan kesablengan di atas panggung.

Setelah lama menggilai mereka, karya-karya mereka, lagu dan musik mereka hingga cerpen-cerpen Ugo--pengisi lirik dan vokal mereka--akhirnya saya dibius secara langsung oleh Melbi dalam pertunjukan perpisahan, yang ditajuk Keracunan Ingatan. Armada Racun juga ada di sana.

Saya bukan pemburu konser. Lebih baik duduk di depan laptop atau tivi menyaksikan versi layar gelas dibanding berdiri berkerumun di venue yang sesak di mana si pemusik bahkan tidak kelihatan dan belum tentu kita bisa menikmati musiknya dengan nyaman.

Tapi sekarang saya ralat, saya tidak suka konser jika bukan musisi yang benar-benar punya tempat sakral di hati. Dan hanya ada tiga musisi Indonesia yang nangkring di tempat itu: Sheila on 7, Frau, dan Melancholic Bitch. Pertunjukan ini, atau sebutlah konser ini, adalah konser pertama yang saya sambangi dalam 22 tahun terakhir. Mbok tenan!
*

Flashback
ke tahun 2008, tepatnya saya bahkan tak ingat kapan. Tapi saya ingat dalam perjalanan melewati Boulevard kampus, bersama pangeran kodok di tape mobil saya pertama kali mendengar Melancholic Bitch masuk ke dalam kepala. Saya ingat betul, mereka membawakan Mars Penyembah Berhala dan saya langsung bertanya pada laki-laki di kursi kemudi di sebelah saya: "Ini band apa?? Gila!"

Sejak itu saya mencari semua referensi tentang musisi ini, mengumpulkan lagu-lagunya (dalam bentuk mp3, sungguh saya dahulu adalah pembajak, terlalu misqin untuk membeli rilisan fisik) dan meletakkannya dengan bangga dalam folder Otak Kanan di komputer. Saya memutarnya--saat itu baru album Anamnesis yang saya miliki--berkali-kali. Tanpa bosan. Meski saya masih belum berhenti mendengarkan Coldplay, Sheila on 7, Oasis, The Beatles, John Mayer hingga Michael Buble. Hanya, Anamnesis diputar dengan frekuensi yang lebih sering.

Lalu tahun berikutnya, album Balada Joni dan Susi lahir.

Saya tidak pernah membayangkan bagaimana kepahitan romantisme dua manusia bisa tersampaikan dengan cara yang tidak basi, tidak menye-menye. Mampu melibatkan pendengar secara emosional dalam jalan cerita yang dibangun oleh satu album, dimulai dari intro, klimaks sampai outro.

Balada Joni dan Susi sama sekali bukan roman picisan. Mendengarkan satu album, rasanya seperti menyaksikan rangkuman realita pasangan urban-pinggiran di Indonesia, seperti membaca satu novel utuh mengenai potret masyarakat marjinal dari sudut pandang orang pertama, atau sebutlah sudut pandang sepasang manusia. Sepasang manusia yang bergelut dengan kerasnya hidup dan rasa lapar, di tengah represi pemerintah dan media, namun tetap berusaha tidak kehilangan kewarasan. Saya bahkan memiliki gambaran utuh kisah Joni dan Susi di kepala dalam bentuk film hitam putih yang dilatari tiap lirik lagu dalam album ini.

Dan adiksi itu benar adanya. Saya kecanduan serangkaian lagu. Sebuah album. Kecanduan kisah Joni dan Susi. Dan menanti-nanti apalagi yang akan ditelurkan dari kepala Ugoran Prasad dan rekan-rekannya.

Sampai tibalah di sini. Di konser Keracunan Ingatan yang selalu saya bayangkan dapat saya saksikan langsung.

Rasanya seperti bertemu dengan 'keluarga yang tak pernah saya temui sebelumnya' dengan hampir 400 orang yang hadir di Langgeng Art Foundation malam itu. Selama ini saya merasa seperti menjadi penggila sekumpulan musisi legenda yang--namanya juga legenda--hampir menjadi seperti mitos. Luar biasa rasanya mengetahui ratusan orang sama gilanya seperti saya. Satu per satu tembang yang saya hapal di luar kepala, dibawakan Melbi, dengan sedikit, sedikiit saja pengantar dari Ugo di tiap jeda lagu. Tentang Joni dan Susi, bulan madu khayalan, malam-malam yang dilewatkan dengan nyanyian, kesusahan dan kesakitan, kelaparan, pencurian apel dan sepotong roti hingga gebukan aparat dan televisi. 

Bonus, malam ini Leilani Hermiasih (Frau)--satu dari tiga bias musisi Indonesia kecintaan saya--naik pula ke panggung melagukan Off Her Love Letter dan tentu saja, Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa. Kombo paling ideal yang tidak akan bisa saya lupakan.



Bagi penggila Melbi atau ERK, pernyataan ini pasti sudah sangat familiar. Mengutip The Rolling Stones, Cholil Efek Rumah Kaca pernah menyebut musik Melancholic Bitch sebagai "musik Efek Rumah Kaca untuk tingkat yang lebih advanced." Jika kebanyakan orang yang tahu Efek Rumah Kaca berpikir bahwa musik mereka kelam dan punya level dan taste yang tinggi, bayangkan bagaimana yang 'lebih advanced'.

Boleh, deh, ini disebut peng-kultus-musik-an atau apapun namanya. Habis, mau bagaimana lagi? Liriknya yang kuat, performance-nya yang tak biasa, tak ada celaan atau bahkan kritik untuk dicari-cari. Meski tidak pernah fanatik dan tidak suka dibilang fanatik, untuk Melancholic Bitch, aku menyerah. Aku fanatik. Aku adalah pecandu yang tidak mau berhenti nyandu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Devil Spends Korean Won!

My Rareness Has A Name: Kosmemophobia!

"Perkenalkan, Saya Tante Fatimah."

Arsip #3 - Bicara Musik Indie: Tentang Counter-Culture Kapitalisasi Seni

Ibuku?